Langsung ke konten utama

JATUH CINTA VIRTUAL PART 3

 JATUH CINTA VIRTUAL PART 3

"KITA DAN EKSPEKTASI PERNIKAHAN"

Written by Khoti Isnaeni


Jika kamu adalah seorang pemikir. Maka pikiranmu akan dipenuhi dengan banyak sekali pertanyaan pertanyaan yang kadang penting atau tidak penting maka akan selalu muncul dan memaksamu untuk mencari jawaban. Begitupun dengan isi kepala Ana. Setelah berkenalan dengan Angga, hingga memasuki waktu satu bulan. Bukan tidak mungkin bahwa Ana menanyakan berbagai hal terhadap dirinya. Menanyakan banyak hal dengan isi perasaanya. Menanyakan banyak hal tentang sikapnya yang makin lama makin terasa tidak normal. Hal itu terjadi karena Ana selalu memikirkan Angga. Ana selalu menunggu kabar Angga. Selalu ingin mengobrol. Parahnya lagi, Ana merasa bahwa Angga adalah sosok sempurna yang saat ini tengah mengisi hatinya.

Padahal tentu saja semua hal ini sangat sangat berlebihan. Bagi Ana sikap yang dimunculkannya ini sama sekali tidak beres. Lalu Ana hanya bisa menilai bahwa ini bisa terjadi karena Ana baru pertama kali membuka diri dengan lawan jenis. Baru pertama kali mau berbagi cerita dengan lawan jenis. Dan chating atau telpon dengan lawan jenis. Maka ibarat gelas yang masih kosong, Ana menganggap hatinya mudah sekali dimasuki oleh Angga yang kini sedang mendekatinya. Tanpa tahu bagaimana baik dan buruknya Angga.

Satu bulan berkenalan dengan intensitas yang cukup sering membuat Ana bertanya tanya akan semua yang dialaminya. Ditambah dia juga ingin menuntut agar hubungannya bisa berkembang menjadi hubungan di dunia nyata. Ana ingin segera bertemu dengan Angga dengan cara yang tentunya tidak berbahaya. Ana pun mengirimkan pesan singkat kepada Angga.

“Angga, kira-kira kapan kamu bisa datang ke rumah. Apa kamu sangat sibuk?”

Lalu beberapa saat kemudian pesan itu dibalas.

“kita rencanakan satu atau dua bulan lagi. Intinya jangan dulu tergesa-gesa.”

Barulah saat itu Ana sadar, bahwa memang perkenalan yang mereka lakukan tidak semestinya tergesa gesa dan buru buru. Mungkin maksud Angga, semua ini butuh sekali yang namanya persiapan. Atau butuh jeda untuk mengenal sampai akhirnya bisa sama-sama yakin untuk bertemu.

Meski Ana mencoba memahami Angga dari sudut pandang laki-laki yang menginginkan proses. Dalam benak Ana, dia ingin tetap mempercepat proses. Maksud Ana, bukan dia cinta mati dengan Angga. Sama sekali tidak. dia hanya merasa khawatir bahwa yang dirasakannya sekarang akan terus menganggunya. Ana tidak suka menunggu pesan Angga karena itu membuat dia harus bolak-balik membuka HP. Atau bahkan menjadikannya seperti mengalami gangguan karena berulang kali menunggu Angga mengirimkan pesan. Bagi Ana ini situasi yang tidak normal dan harus segera dihentikan. Situasi ini sama saja seperti orang kecanduan terhadap sesuatu.

Ana lalu melakukan penyelidikan lebih jauh. Dia mencoba mencari jawaban melalui berbagai artikel atau buku-buku John Grey yang membahas tentang asmara.

Satu hal yang dapat Ana simpulkan atas perasaan yang muncul mengenai cinta virtual yang singkat tersebut adalah: karena khayalan selalu lebih indah daripada kenyataan.

Dalam artikel yang dikutip oleh kelascinta.com tertulis bahwa tanpa pertemuan yang nyata, segala sesuatu mengenai pasangan Anda adalah hasil imajinasi dan khayalan Anda sendiri. Anda jatuh cinta pada bayangan orang tersebut yang Anda ciptakan dalam kepala Anda sendiri.

Pada intinya berhubungan secara virtual dengan seseorang membuat kita beranggapan bahwa sosok itu sangatlah sempurna. Semua jadi terasa lebih manis, indah, menarik. Karena tidak ada pertemuan, Ana akhirnya membayangkan bentuk fisik Angga seperti keinginan Ana sendiri. Ketika Ana sibuk menghayalkan rupanya atau karakternya, Angga pun akan melakukan hal yang sama. Padahal bisa jadi apa yang dibayangkan sangat jauh dari kenyataan yang ada.

Pada kenyataannya kasus yang terjadi antara Angga dan Ana adalah mereka tidak sedang jatuh cinta satu sama lain tapi pada khayalan terbaik tentang orang yang sedang mereka dekati. Dan pada kasus ini adalah mereka berdua.

Setelah dapat mengetahui kesimpulan ini, Ana baru sadar betapa kuatnya jatuh cinta virtual yang Ia alami. Ana telah menggambarkan sosok Angga yang begitu sempurna dan berlebihan. Ia melihat dan mengingat  komunikasi yang terjalin saat di telpon atau chat, Angga tergambar dari semua cerita yang dia berikan. Saat Angga melarang Ana berbicara ketika adzan, Ana langsung berpikir bahwa Angga memang paham akan hal agama. Ketika mereka berdiskusi soal masa kuliah Angga, lulus tepat waktu, IPK 3,8 maka saat itu pula Ana langsung beranggapan bahwa Angga pintar dan cerdas. Bahkan saat Angga bercerita soal dirinya yang menjadi guru dan meminta Ana supaya nanti menjadi guru dengan alasan profesi ini sangat mulia. Ana lansung berpikir tentang betapa bijaknya makhluk Tuhan yang satu ini. Pasti akan bahagia menikah dengannya.

Khayalan itu seolah tumbuh subur. Ana tak mampu melihat satu celah keburukan dari Angga bahkan meski Angga menggunakan photo profil kartun pada Instagram nya dan Ana tidak suka hal ini, tetap saja Angga sepenuhnya special.

Hari itu ada banyak rasa yang bergejolak mulai dari perasaan yang berlebihan, ketakutan berlebihan dan juga masih belum tahu arah hubungan yang mereka jalin bersama. Ana lalu meminta Angga menelpon saja di tengah malam, sekedar berdiskusi tentang apapun lagi.

Maka di tengah malam, Ana menunggu telpon dari Angga. Mereka sepakat akan memulai mengobrol pukul 9 malam. Ketika menunggu, Ana berada di nuansa yang sama. Di tempat yang sama. Yakni di balkon lantai dua rumahnya. Sembari menunggu, Ana selalu mempunyai kebiasaan membaca ulang chat WA dirinya dan Angga. Membaca kembali deskripsi mengenai karakter Angga yang diberikan oleh temannya. Dalam hatinya ingin sekali menemukan ketidakcocokan agar Ana tidak merasa terganggu seperti ini. Tapi semuanya masih terlihat sempurna dan tanpa cacat. Bahkan membuat Ana mabuk kepayang.

Beberapa menit kemudian, Angga lalu menelpon Ana. Ana pun mengangkatnya.

“Haallooo.....” Sahut Angga dari kejauhan.

“Hallo Angga, Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumussalam. passwordnya”

“Angga jelek dan selalu sombong.”

“Hahahaha kenapa diganti?”

“Biarin dong suka-suka Ana.”

“Yaudah deh terserah Ana  tapi ingat yah kak Angga itu tampan masya Allah, kamu kalo ketemu bisa semaput.”

“Ah masa iya sih, kayak Zulaikhah ketemu nabi Yusuf yah?” ucap Ana ngasal.

“Nah iya bener banget.”

“Bener bener aku tuh salah ngomong emang yah.”

“Hahaha.” Tawa Angga makin keras.

Setelah membuka obrolan dengan basa basi dan tawa. Ana mencoba untuk langsung bercerita mengenai hidupnya sekarang.

“Tahu gak sih Angga,”

“Gak tahu.” Jawab Angga ketus.

“Iihh aku mau cerita loh.” Ana pun berbicara agak marah.

“yaudah cerita loh.” Jawab Angga membalas kemarahan Ana.

“Aku sebentar lagi akan balik ke Bandar Lampung dan kerja di sana lagi.”

“Loh kamu mau ke sini?” Angga menjawab agak kaget. “Kenapa gak ngajar aja di kampung sendiri kan hitung-hitung ngabdi.”

“Iya tapi aku pengen lebih berkembang lagi, gak gini gini aja. Kalo aku jadi guru di sini, aku pasti gak bisa berkembang banyak.”

“Owh begitu,” jawab Angga singkat. “ya udah keputusan ada di tanganmu. Yang terpenting saat di Bandar Lampung lagi, kamu bisa beradaptasi dan berkembang seperti yang kamu inginkan. Lagi pula nanti akan jadi lebih deket sama aku”

“Iya, hehehe.”

Ana memang tengah membuat sebuah pertimbangan besar. Dia yang dulu sempat berpikir kembali ke kampung halaman hanya untuk mengabdi. Kini terkikis oleh keadaan yang sepertinya tidak memungkinkan untuk membuat dirinya berkembang. Pergaulannya yang sudah di bangun di Bandar Lampung sejak Ia SMA hingga lulus menjadi sarjana, teman, pekerjaan dan kemungkinan karir yang lebih baik akhirnya sangat memungkinkan untuk di bangun di kota tersebut.

Di rumah, Ana juga memiliki keterbatasan. Ia memiliki keluarga yang sibuk dengan bisnis dan itu akan membuatnya harus ikut terjun membantu. Sebetulnya bukan Ana tidak mau membantu keluarganya, tetapi keputusan ini dibuat karena Ana harus menemukan apa yang dia inginkan di masa depan dan kampung halamannya tidak bisa memberikan itu. Maka dengan berat hati Ana akan kembali ke kota tempat Ia menempuh pendidikan dulu dan memulai kehidupan barunya. Sambil berharap di sana Ia bisa menemukan tambatan hati yang tertulis di Luhul Mahfudz jika memang bukan Angga orangnya. Namun Angga memang tinggal di kota Bandar Lampung. Sebagai tenaga pengajar dan seorang PNS. Jika Angga mampu mengambil kesempatan, tentu mereka akan memiliki hubungan yang bisa ditumbuhkan melalui dunia nyata. Dan jika nantinya bisa berjalan dengan baik, maka hubungan mereka akan memungkinan untuk memasuki jenjang yang lebih serius.

“Oh yah kita bahas apa yah malam ini?” Ana lalu menimpali.

“Bahas masa depan aja jangan masa lalu terus.” Jawab Angga.

“Hahaha” Ana tertawa keras. “yaudah aku mau nanyak sesuatu kalo gitu.”

“Iya apa?”

“Apa ekspektasi yang muncul di pikiranmu sekarang jika kamu nanti menikah? Pasti kamu punya dong sesuatu yang menjadi ekspektasi pernikahan?”

“Oohhh.”

“Iya apa?” ketus Ana.

“Hhmmmm.” Angga berdeham, “hhhmmmmm.” Lalu berdeham lagi. “hhmmmm nungguin yah?”

“Iihh iihhh” Ana lalu kesal,  “kopas mulu becandaanya.” Lanjutnya lagi.  

“Hahaha.” Angga tertawa. “Kalo ekspektasi ku tuh, aku ingin saat nikah nanti, kita berdua kayak punya program ibadah. Setelah shalat kita sama sama punya target hapalan Qur’an. Terus program sedekah setiap bulan dari sekian persen penghasilan. Program bertahajud. Saat nikah juga maunya kita tetap harmonis terus jangan terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil. Cukup komunikasikan saja setiap hal yang dianggap masalah. Tidak perlu meledak-ledak atau sampai mendiamkan satu sama lain.”

“He’em”

“Iya, karena namanya pernikahan pasti akan selalu ada masalah dan nantinya. Ketika kamu makin sayang sama pasanganmu kamu pasti akan jadi orang yang sangat sensitive, bisa jadi possesive. Ibaratnya pasanganmu yang selama ini jadi sumber kebahagiaan juga akan sama mungkinnya untuk menjadi sumber sakit hati. Tindak tanduknya dinilai negative.”

“He’em”

“Kayak misal, kamu pasti tahulah kisah-kisah orang. Ini aku juga belajar dari kisah orang. Kayak misal suami pergi main bola, atau nonton bola sampai larut malam. Istri-istri mereka tuh banyak yang ngedumel. Padahal kayak aku yang punya hobi main bola, itu tuh kayak refresh otak, ketemu temen-temen, asik. Biar bisa maksimal di kerjaan juga nantinya.”

“He’em” sahut Ana mulai mengerti. “eh tapi tunggu dulu deh,” Ana memotong ucapan Angga.

“Kalau semua para suami dan istri saling berkomunikasi layaknya teman. Saling mengkomunikasikan satu sama lain apa yang diinginkan. Kayaknya sang istri pasti akan langsung mengerti gak sih. Mungkin gak sih mereka yang di luaran sana sering ribut karena komunikasinya jelek. Kayak kamu cerita gini aja, kalo posisinya aku itu istrimu, pasti aku bolehinlah. Ngapain dilarang-larang. Namanya juga seru, hobi juga.”

“Nah iya bisa juga karena itu permasalahannya. Masalah di komunikasi. Akhirnya gak bisa memahami keinginan atau kebutuhan satu sama lain sampai akhirnya sering ribut deh.”

“Tapi juga para suami harusnya mengerti.” Ana menimpali. “Ketika para istri marah seperti itu. Aku pikir karena para istri menganggap suami bersenang-senang di atas penderitaan istri. Bisa jadi karena sang istri merasa kebutuhan dirinya tidak terpenuhi tapi suami malah pergi-pergi. Kan itu harus dipahami jugalah. Wajarlah istri ngedumel.” Ana pun mengubah intonasi bicara dengan nada sedikit meledak-ledak.

“Pasti karena suaminya kurang memerhatikan istrinyalah itu” lanjut Ana seolah dirinya adalah istri sungguhan yang sedang terzdalimi dan butuh dipahami oleh Angga suaminya.

“loh kok kamu malah marah-marah sama aku Na.” Ucap Angga protes.

“Iihh siapa yang marah.”

“lah itu cara ngomongnya. Udah gak sabar pengen jadi istriku apa?”

“Heeeh, enak aja.” Ana mengelak. Agak singut.

“Haah dasar perempuan bisanya cuma mengelak.”

“iya! emang bener aku mau jadi istrimu! Terutama biar aku rusak semua ekspektasimu itu” Ana meletup-letup bak gunung meletus yang menyemburkan api panas. 

“Hahahaha.” Angga lalu tertawa lepas. “Berarti kamu gak mau tahajud bareng nih?” tanya Angga kemudian.

“Enggak!” jawab Ana agak kasar.

“Waahhh, istri durhaka berarti kamu Na. hahaha” sahut Angga dengan gelak tawa lagi.

“Hehehe” Ana pun hanya bisa tersenyum mrenges. Dalam hati kecilnya “wah pengen banget shalat tahajud bareng si goublog satu ini.”

Malam itu, Ana merasa chemistry diantara dia dan Angga seperti telah terbangun. Ana tidak lagi memahami isi perasaanya karena semua muncul dengan sangat natural. Harapan datang secara natural. Mengalir begitu saja. Dalam hati Ana, dengan tiba-tiba sangat menginginkan keberbersamaan dengan Angga. Dengan apa yang telah diekspektasikan tadi. Ana tentu sangat ingin bertahajud bersama. Ingin menghapal Al-Qur’an juga. Ingin memiliki keluarga yang harmonis juga.

Entah mengapa hal itu sangat mudah meresap di ubun-ubun perasannya. Apakah karena perempuan sangat lemah dengan pendengaran. Apakah karena perempuan tidak bisa mendengar pujian, janji, kalimat kalimat cinta, sebab itu akan melemahkan hati mereka. Barangkali memang inilah yang Ana rasakan terhadap Angga. Perasaanya mudah mencair ditengah ilusi yang dia miliki dan juga kalimat menyenangkan yang keluar dari mulut Angga beserta candaan yang ikut serta membumbui.

Malam semakin larut. Bintang bintang berkelip terang sementara yang lainnya sembunyi dibalik awan tebal. Ada rembulan terang yang menyinari dataran bumi yang tenang. Juga alam sekitar dengan khas perkampungan yang tertutup kegelapan. Ana duduk di pojok balkon menghadap langit malam. Wajahnya tersembunyi di tengah lampu yang sayu kekuning-kuningan. Dia merasa cukup tenang menghadapi ekspektasinya ini, entah suatu saat menjadi nyata atau tidak. Tapi dia terus saja mencoba menggali lebih jauh bahwa Angga bisa menjadi pendamping hidup yang tepat. Agar memang tidak salah langkah atau salah memilih pasangan. Namun di lain sisi tumbuh hal baru yang cukup menyayat hatinya, dia mulai takut kehilangan. Yang lebih menyayatnya lagi, dia takut kehilangan bahkan untuk sosok yang belum diketahui keseriusannya.

Ana dan Angga telah terdiam lama. Mereka membisu di tengah obrolan yang cukup serius untuk dibahas.

“Oh ya coba kak Angga yang nanyak ke kamu sekarang. Kira-kira ekspektasimu tentang pernikahan gimana?” Angga lalu angkat bicara.

Ana berpikir sejenak.

“ekspektasiku dalam pernikahan?” Ana bertanya ulang.

“iya.”

“hhmmmm, ekspektasiku.” Jawab Ana pelan, “keabisan minyak pas akhir bulan, keabisan beras, gas kosong gak ada yang pasangin, sibuk ngurus anak sendirian sementara suaminya main bola keluar sampe tengah malem.”

“waahahaha.” Dari jauh Angga lalu tertawa. “Sarkas abis.” Lanjutnya merasa tersindir.

“hahaha,” Ana lalu ikut tertawa menyadari reaksi Angga. “Terus apa yah?” Ana berpikir lagi.

“Nantinya tuh harus terima kenyataan, 2 atau 3 tahun pernikahan akan terlihat sisi buruk masing-masing. Yang tadinya bisa tahan amarah di tahu awal pernikahan. Mungkin saat memasuki pernikahan ke dua dan seterusnya udah gak gitu lagi, bakal meledak-ledak juga. Pasangan kita akan berubah 100%. Bisa jadi sikapnya tidak menghargai kita lagi sebagai pasangan. Bisa jadi sudah mulai berani merendahkan satu sama lain. Yah bakal ada momen menyakitkan seperti itu nanti”

“ooohh gitu.”

“Iya, dan nantinya kalau Ana fisiknya berubah. Gak cantik lagi. Udah susah mau ngerawat-ngerawat badan karena harus selalu ngurusin anak kan. Terus akan ada momen sakit juga. Pasti bakal tambah jelek banget lah nanti. nanti kesetian pasangan akan terlihat di situ. Jadi nanti harus kuat-kuat misalnya suami lebih suka keluar nyari hiburan dari pada ngerawat istri di rumah. Mentalnya bakal terguncang nanti”

“kok pola pikirmu itu berbeda dari yang aku pikirkan sih?” Angga memotong kalimat Ana.

“Yah gimana.” Jawab Ana. “Kalo kenyataanya pernikahan akan membawa kebahagiaan yah itu pasti dan semua orang juga mampu melewatinyalah, tapi kalo hal-hal tersulitnya? Nah belum tentu bisa. Nanti kan hal buruk bakal macem-macem, yang seperti ini dan ini, dipersiapkan mentalnya.  Ibaratnya kalo sampe kejadian hal seperti ini bagaimana pegambilan sikapnya sih, nah itu perlu sekali dipikirkan sih.”

“hhhmmmm” Angga berdeham paham.

“yah kalo bahagia pasti bahagia. Ana juga punya segudang kreativitas untuk tahu bagaimana caranya membahagiakan pasangan. Ana tahu banget bagaimana membuat pasangan ku nanti, bisa  merasa diperlakukan layaknya raja di hatiku. Cailah.”

“haduh beurat beurat.”  Ucap Angga menanggapi.

“hahaha.” Ana lalu tertawa malu-malu. Dalam hatinya “Ini gue mau jadiin elo raja nya loh goublog.”

Tapi Ana hanya bisa diam. Seketika rasa takutnya sedikit memanggil. Ia masih sadar bahwa Ana tidak tahu siapa sosok yang menjadi takdir untuknya kelak. Angga mungkin terlihat sangat manis untuk sekarang tapi hati dan keinginanya masih tidak bisa ditebak. Ana sendiri sama. Sekarang dia bisa bermanis-manis dengan Angga. Tapi suatu saat, hati dan keinginannya masih tidak bisa ditebak.  

“hhhmmmm” Ana berdeham melepas suaranya agak keras.

“Kenapa?” Tanya Angga lembut.

“Aku sebenarnya sering menangis karena membayangkan sesuatu, pas malem-malem atau pas lagi sendirian?” Ucap Ana pelan.

“membayangkan apa?” Tanya Angga penasaran.

“membayangkan pernikahan.” Ana lalu sedikit terhanyut dengan apa yang akan dia bicarakan, “kalau nanti aku sampai bisa menikah dengan seseorang karena Allah. Menikah dengan seseorang karena keimanan nya. Menikah karena surga terasa menjadi lebih dekat. Ana akan sangat sangat bersyukur sekali dan  akan berjanji dengan diri Ana sendiri untuk menjadi istri yang paling ta’at sedunia.” Ana lalu sedikit meneteskan air matanya. Entah bagaimana khayalan pernikahan yang sesungguhnya tiba-tiba terekam kuat di alam bawah sadarnya. Dia sadar bahwa inilah keinginan sebenar-benarnya keinginan yang berada jauh dalam lubuk hatinya. Menikah karena Allah SWT.

Di sudut dataran bumi yang nun jauh di sana, Angga juga terdiam lama mengartikan isak tangis kecil Ana. Angga sedang melihat plapon kamarnya. Tertidur sambil menghadap lampu kamar berwarna putih. Dia berpikir betapa tulusnya keinginan Ana. Dalam hati kecil Angga dia sampai mendoa’akan Ana semoga kelak anak ini bertemu sosok sempurna di mata Tuhannya. Angga tidak berpikir bahwa orang itu adalah dirinya. Bahkan karena melihat keinginan Ana yang begitu tulus, Angga semakin yakin Ana seharusnya bisa mendapat yang jauh lebih baik dari dirinya. Barangkali Angga sadar bahwa Ia jauh dari sosok yang Ana inginkan.

“Angga udah dulu yah telponanya.” Ucap Ana dengan nada melemah. Mendadak Ana memang ingin mengakhiri saja obrolannya itu.

“owh oke, kamu udah ngantuk yah?”

“iya, lumayan.”

“Yaudah. Eh tapi Ana, sebelum ditutup dengar baik baik kalimat kak Angga yah. Perempuan baik untuk laki-laki baik. Ana belajar terus jadi perempuan yang sholehah. Hati-hati dengan pergaulan sekarang dan niatkan pernikahan untuk menjemput ridho Allah.”

“”ini buaya kalo lagi ngomong emang begini yah?.”  Ucap Ana berusaha melawak kembali.

“Eh asem juga kamu Na.” Ucap Angga tak terima, “udah bocil sana tidurlah kalo gitu.”

“hehehe. Oke bye. Assalamualaikum bye. dadah” sahut Ana sok centil kembali.

“hhmmm waalaikumsalam.” Angga pun menutup telpon dengan raut wajah heuran seheuran-heurannya. Bahkan dia ikut menggelengkan kepala.

“tutttt” telpon pun sudah tertutup.

Ana terdiam sejenak dan menatap rembulan bintang yang bergantungan di langit indah. Pikirannya kini mulai terpaku pada sebuah tujuan hidup dan asmara yang kini sedang ia jalani. Dia ingin sekali berjuang terlebih dulu menemukan karir yang ia inginkan di tengah kota yang belum memberinya kesempatan itu. Di lain sisi Ia berharap semoga Ia dapat menemukan pedamping hidupnya di sana. Kalau memang itu Angga, mungkin akan baik tetapi jika bukan Angga pasti Ana akan bertemu kesempatan baru untuk menemukan sosok yang lebih baik.

Saat itu Ana merasa perlu mempersiapkan diri, mempersiapkan mental, mempersiapkan jiwanya agar mampu melewati apapun yang tentunya akan ditemukan. Ia merasa yakin segala sesuatunya pasti akan diatur oleh Allah SWT. Jalan kemudahan atau rintangan pastilah akan dia hadapi. Yang Ana butuhkan sekarang hanyalah harapan dan keyakinan.

Dengan langkah mengantuk, ana menutup pintu dan meninggalkan teras balkon nya. Dia kembali ke dalam kamar dan menguncinya lalu menyetel lagu favoritnya. “amin paling serius” dari Sal Priyadi dan Nadin Amizah. Terlelaplah dirinya dalam angan-angan, dua insan yang bersatu dalam kagum yang sama.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH TIDAK AKAN KEMANA (romance)

JODOH TIDAK AKAN KEMANA Written by Khoti Isnaeni " Takdir yang telah membuatku jatuh cinta maka biarkan takdir pula yang menyelesaikannya. "              “Hey Cantik.” Aku sempat malu dan gak karuan rasanya ketika mendapat sapaan itu dari Amir. Sempet senyum-senyum namun secara mendadak senyumku berubah manyun. “Apa sih manggil-manggil” Amir langsung merespon. “Cacar bintik-bintik.” Sambil ketawa jumawa. Begitu dengar kalimat itu, sumpah deh aku langsung lari ngiprit dan menjauh kayak kadal dikejar ular kobra. *** Heey, aku Leli, sering disapa Leli oleh kawan-kawan. Sudah 10 tahunan silam cerita di atas telah terbenam, namun masih seperti baru saja terjadi kemarin.   Dulu aku memang menyimpan perasaan cintaku pada Amir, seseorang yang kukenal sejak di bangku SMA. Diawali dengan panggilan cacar bintik-bintik yang aku rasa menarik juga untuk diceritakan. Kalau boleh jujur, itu adalah salah satu permulaan mengapa aku bisa suka. Karena dia pern

Panduan dalam Menghindari Cowok Modus

Panduan dalam menghindari cowok yang modus Jika kamu seorang cewek dan sering dimodusin cowok, maka bersabarlah mungkin ini ujian, tapi jangan diambil pusing, jangan takut, jangan ada dusta diantara kita, karena kamu bisa menghindarinya tanpa membuat cowok tersebut tersinggung, beberapa hal disini dapat kamu jadikan panduan dalam menghindari cowok yang modus tadi. Okey stay tune! 1.       Dia ngubungin kamu terus Gak ada ujan gak ada ojek kok tiba-tiba dia hubungin kamu terus, dari pagi misalnya dilanjut siang terus malem, seterusnya hubungin tanpa membicarakan hal yang penting, maka kamu berhak risih dengan perlakuanya yang tak biasa, hati-hati hal yang perlu kamu lakukan adalah, pertama kamu balas saja pesanya tersebut lalu jika beberapa saat ia masih hubungin lagi jangan dibales, tapi tunggu sampe satu jam berlalu, barulah kamu balas pesan dia dan jangan lupa sertakan maaf karena telat membalas agar dia tak mengira kamu menghindarinya, ini penting agar kamu tidak dianggap c

JATUH CINTA VIRTUAL PART 4

 JATUH CINTA VIRTUAL PART 4 KISAH CINTA KITA DI MASA LALU Written by Khoti Isnaeni   Ana sedang berada di kamar. Di tengah malam setelah shalat isya, Ia memberesi kamarnya serta memilah dan memilih barang-barang yang akan dibawanya ke Bandar Lampung. Dia juga sudah mengatur rencana. Ia akan tinggal bersama teman lamanya. Kebetulan temannya tinggal sendiri di sebuah rumah dan membutuhkan seseorang untuk tinggal bersama. Ia akan memulai pekerjaan barunya dengan bergabung di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris sebagaimana dulu Ia berkuliah dan mengajar dalam bidang ini. Ia ingin mempelajari Bahasa inggris lebih banyak. Mempelajari level-level dari paling bawah sampai teratas. Dan targetnya kala itu adalah menguasai teknik pengajaran TOEFL atau IELTS. Dibalik itu semua, orang tua Ana sudah memberinya izin. Meski pada awalnya mereka sangat berberat hati melepas Ana sendirian di kota besar tapi Ana akhirnya berhasil meyakinkan. “yaudah kalau maunya balik ke Bandar Lampung, kalau n