JATUH CINTA VIRTUAL PART 3
"KITA DAN EKSPEKTASI PERNIKAHAN"
Written by Khoti Isnaeni
Jika kamu adalah seorang
pemikir. Maka pikiranmu akan dipenuhi dengan banyak sekali pertanyaan
pertanyaan yang kadang penting atau tidak penting maka akan selalu muncul dan
memaksamu untuk mencari jawaban. Begitupun dengan isi kepala Ana. Setelah
berkenalan dengan Angga, hingga memasuki waktu satu bulan. Bukan tidak mungkin
bahwa Ana menanyakan berbagai hal terhadap dirinya. Menanyakan banyak hal
dengan isi perasaanya. Menanyakan banyak hal tentang sikapnya yang makin lama
makin terasa tidak normal. Hal itu terjadi karena Ana selalu memikirkan Angga.
Ana selalu menunggu kabar Angga. Selalu ingin mengobrol. Parahnya lagi, Ana
merasa bahwa Angga adalah sosok sempurna yang saat ini tengah mengisi hatinya.
Padahal tentu saja semua hal
ini sangat sangat berlebihan. Bagi Ana sikap yang dimunculkannya ini sama
sekali tidak beres. Lalu Ana hanya bisa menilai bahwa ini bisa terjadi karena
Ana baru pertama kali membuka diri dengan lawan jenis. Baru pertama kali mau
berbagi cerita dengan lawan jenis. Dan chating atau telpon dengan lawan jenis. Maka
ibarat gelas yang masih kosong, Ana menganggap hatinya mudah sekali dimasuki
oleh Angga yang kini sedang mendekatinya. Tanpa tahu bagaimana baik dan
buruknya Angga.
Satu bulan berkenalan dengan
intensitas yang cukup sering membuat Ana bertanya tanya akan semua yang
dialaminya. Ditambah dia juga ingin menuntut agar hubungannya bisa berkembang
menjadi hubungan di dunia nyata. Ana ingin segera bertemu dengan Angga dengan
cara yang tentunya tidak berbahaya. Ana pun mengirimkan pesan singkat kepada
Angga.
“Angga, kira-kira kapan kamu
bisa datang ke rumah. Apa kamu sangat sibuk?”
Lalu beberapa saat kemudian
pesan itu dibalas.
“kita rencanakan satu atau
dua bulan lagi. Intinya jangan dulu tergesa-gesa.”
Barulah saat itu Ana sadar,
bahwa memang perkenalan yang mereka lakukan tidak semestinya tergesa gesa dan
buru buru. Mungkin maksud Angga, semua ini butuh sekali yang namanya persiapan.
Atau butuh jeda untuk mengenal sampai akhirnya bisa sama-sama yakin untuk
bertemu.
Meski Ana mencoba memahami
Angga dari sudut pandang laki-laki yang menginginkan proses. Dalam benak Ana,
dia ingin tetap mempercepat proses. Maksud Ana, bukan dia cinta mati dengan
Angga. Sama sekali tidak. dia hanya merasa khawatir bahwa yang dirasakannya
sekarang akan terus menganggunya. Ana tidak suka menunggu pesan Angga karena
itu membuat dia harus bolak-balik membuka HP. Atau bahkan menjadikannya seperti
mengalami gangguan karena berulang kali menunggu Angga mengirimkan pesan. Bagi
Ana ini situasi yang tidak normal dan harus segera dihentikan. Situasi ini sama
saja seperti orang kecanduan terhadap sesuatu.
Ana lalu melakukan
penyelidikan lebih jauh. Dia mencoba mencari jawaban melalui berbagai artikel
atau buku-buku John Grey yang membahas tentang asmara.
Satu hal yang dapat Ana
simpulkan atas perasaan yang muncul mengenai cinta virtual yang singkat tersebut
adalah: karena khayalan selalu lebih indah
daripada kenyataan.
Dalam artikel yang dikutip oleh
kelascinta.com tertulis bahwa tanpa pertemuan yang nyata, segala sesuatu
mengenai pasangan Anda adalah hasil imajinasi dan khayalan Anda sendiri. Anda
jatuh cinta pada bayangan orang tersebut yang Anda ciptakan dalam kepala Anda
sendiri.
Pada intinya berhubungan secara
virtual dengan seseorang membuat kita beranggapan bahwa sosok itu sangatlah
sempurna. Semua jadi terasa lebih manis, indah, menarik. Karena tidak ada
pertemuan, Ana akhirnya membayangkan bentuk fisik Angga seperti keinginan Ana
sendiri. Ketika Ana sibuk menghayalkan rupanya atau karakternya, Angga pun akan
melakukan hal yang sama. Padahal bisa jadi apa yang dibayangkan sangat jauh
dari kenyataan yang ada.
Pada kenyataannya kasus yang terjadi
antara Angga dan Ana adalah mereka tidak sedang jatuh cinta satu sama lain tapi
pada khayalan
terbaik tentang orang yang sedang mereka dekati. Dan pada kasus ini adalah
mereka berdua.
Setelah dapat mengetahui kesimpulan ini, Ana baru sadar betapa kuatnya
jatuh cinta virtual yang Ia alami. Ana telah menggambarkan sosok Angga yang
begitu sempurna dan berlebihan. Ia melihat dan mengingat komunikasi yang terjalin saat di telpon atau
chat, Angga tergambar dari semua cerita yang dia berikan. Saat Angga melarang
Ana berbicara ketika adzan, Ana langsung berpikir bahwa Angga memang paham akan
hal agama. Ketika mereka berdiskusi soal masa kuliah Angga, lulus tepat waktu,
IPK 3,8 maka saat itu pula Ana langsung beranggapan bahwa Angga pintar dan
cerdas. Bahkan saat Angga bercerita soal dirinya yang menjadi guru dan meminta
Ana supaya nanti menjadi guru dengan alasan profesi ini sangat mulia. Ana
lansung berpikir tentang betapa bijaknya makhluk Tuhan yang satu ini. Pasti akan
bahagia menikah dengannya.
Khayalan itu seolah tumbuh subur. Ana tak mampu melihat satu celah
keburukan dari Angga bahkan meski Angga menggunakan photo profil kartun pada Instagram nya dan Ana tidak suka hal ini, tetap saja Angga sepenuhnya special.
Hari itu ada banyak rasa yang bergejolak mulai dari perasaan yang
berlebihan, ketakutan berlebihan dan juga masih belum tahu arah hubungan yang
mereka jalin bersama. Ana lalu meminta Angga menelpon saja di tengah malam,
sekedar berdiskusi tentang apapun lagi.
Maka di tengah malam, Ana menunggu telpon dari Angga. Mereka sepakat akan
memulai mengobrol pukul 9 malam. Ketika menunggu, Ana berada di nuansa yang
sama. Di tempat yang sama. Yakni di balkon lantai dua rumahnya. Sembari
menunggu, Ana selalu mempunyai kebiasaan membaca ulang chat WA dirinya dan
Angga. Membaca kembali deskripsi mengenai karakter Angga yang diberikan oleh
temannya. Dalam hatinya ingin sekali menemukan ketidakcocokan agar Ana tidak
merasa terganggu seperti ini. Tapi semuanya masih terlihat sempurna dan tanpa
cacat. Bahkan membuat Ana mabuk kepayang.
Beberapa menit kemudian, Angga lalu menelpon Ana. Ana pun mengangkatnya.
“Haallooo.....” Sahut Angga dari kejauhan.
“Hallo Angga, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam. passwordnya”
“Angga jelek dan selalu sombong.”
“Hahahaha kenapa diganti?”
“Biarin dong suka-suka Ana.”
“Yaudah deh terserah Ana tapi
ingat yah kak Angga itu tampan masya Allah, kamu kalo ketemu bisa semaput.”
“Ah masa iya sih, kayak Zulaikhah ketemu nabi Yusuf yah?” ucap Ana ngasal.
“Nah iya bener banget.”
“Bener bener aku tuh salah ngomong emang yah.”
“Hahaha.” Tawa Angga makin keras.
Setelah membuka obrolan dengan basa basi dan tawa. Ana mencoba untuk
langsung bercerita mengenai hidupnya sekarang.
“Tahu gak sih Angga,”
“Gak tahu.” Jawab Angga ketus.
“Iihh aku mau cerita loh.” Ana pun berbicara agak marah.
“yaudah cerita loh.” Jawab Angga membalas kemarahan Ana.
“Aku sebentar lagi akan balik ke Bandar Lampung dan kerja di sana lagi.”
“Loh kamu mau ke sini?” Angga menjawab agak kaget. “Kenapa gak ngajar aja
di kampung sendiri kan hitung-hitung ngabdi.”
“Iya tapi aku pengen lebih berkembang lagi, gak gini gini aja. Kalo aku
jadi guru di sini, aku pasti gak bisa berkembang banyak.”
“Owh begitu,” jawab Angga singkat. “ya udah keputusan ada di tanganmu.
Yang terpenting saat di Bandar Lampung lagi, kamu bisa beradaptasi dan
berkembang seperti yang kamu inginkan. Lagi pula nanti akan jadi lebih deket
sama aku”
“Iya, hehehe.”
Ana memang tengah membuat sebuah pertimbangan besar. Dia yang dulu sempat
berpikir kembali ke kampung halaman hanya untuk mengabdi. Kini terkikis oleh
keadaan yang sepertinya tidak memungkinkan untuk membuat dirinya berkembang.
Pergaulannya yang sudah di bangun di Bandar Lampung sejak Ia SMA hingga lulus
menjadi sarjana, teman, pekerjaan dan kemungkinan karir yang lebih baik
akhirnya sangat memungkinkan untuk di bangun di kota tersebut.
Di rumah, Ana juga memiliki keterbatasan. Ia memiliki keluarga yang sibuk
dengan bisnis dan itu akan membuatnya harus ikut terjun membantu. Sebetulnya
bukan Ana tidak mau membantu keluarganya, tetapi keputusan ini dibuat karena
Ana harus menemukan apa yang dia inginkan di masa depan dan kampung halamannya
tidak bisa memberikan itu. Maka dengan berat hati Ana akan kembali ke kota tempat
Ia menempuh pendidikan dulu dan memulai kehidupan barunya. Sambil berharap di
sana Ia bisa menemukan tambatan hati yang tertulis di Luhul Mahfudz jika memang
bukan Angga orangnya. Namun Angga memang tinggal di kota Bandar Lampung.
Sebagai tenaga pengajar dan seorang PNS. Jika Angga mampu mengambil kesempatan,
tentu mereka akan memiliki hubungan yang bisa ditumbuhkan melalui dunia nyata. Dan
jika nantinya bisa berjalan dengan baik, maka hubungan mereka akan memungkinan
untuk memasuki jenjang yang lebih serius.
“Oh yah kita bahas apa yah malam ini?” Ana lalu menimpali.
“Bahas masa depan aja jangan masa lalu terus.” Jawab Angga.
“Hahaha” Ana tertawa keras. “yaudah aku mau nanyak sesuatu kalo gitu.”
“Iya apa?”
“Apa ekspektasi yang muncul di pikiranmu sekarang jika kamu nanti
menikah? Pasti kamu punya dong sesuatu yang menjadi ekspektasi pernikahan?”
“Oohhh.”
“Iya apa?” ketus Ana.
“Hhmmmm.” Angga berdeham, “hhhmmmmm.” Lalu berdeham lagi. “hhmmmm
nungguin yah?”
“Iihh iihhh” Ana lalu kesal, “kopas
mulu becandaanya.” Lanjutnya lagi.
“Hahaha.” Angga tertawa. “Kalo ekspektasi ku tuh, aku ingin saat nikah
nanti, kita berdua kayak punya program ibadah. Setelah shalat kita sama sama
punya target hapalan Qur’an. Terus program sedekah setiap bulan dari sekian
persen penghasilan. Program bertahajud. Saat nikah juga maunya kita tetap
harmonis terus jangan terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil. Cukup
komunikasikan saja setiap hal yang dianggap masalah. Tidak perlu meledak-ledak
atau sampai mendiamkan satu sama lain.”
“He’em”
“Iya, karena namanya pernikahan pasti akan selalu ada masalah dan
nantinya. Ketika kamu makin sayang sama pasanganmu kamu pasti akan jadi orang
yang sangat sensitive, bisa jadi possesive. Ibaratnya pasanganmu yang selama ini
jadi sumber kebahagiaan juga akan sama mungkinnya untuk menjadi sumber sakit
hati. Tindak tanduknya dinilai negative.”
“He’em”
“Kayak misal, kamu pasti tahulah kisah-kisah orang. Ini aku juga belajar
dari kisah orang. Kayak misal suami pergi main bola, atau nonton bola sampai larut
malam. Istri-istri mereka tuh banyak yang ngedumel. Padahal kayak aku yang
punya hobi main bola, itu tuh kayak refresh otak, ketemu temen-temen, asik.
Biar bisa maksimal di kerjaan juga nantinya.”
“He’em” sahut Ana mulai mengerti. “eh tapi tunggu dulu deh,” Ana memotong
ucapan Angga.
“Kalau semua para suami dan istri saling berkomunikasi layaknya teman.
Saling mengkomunikasikan satu sama lain apa yang diinginkan. Kayaknya sang
istri pasti akan langsung mengerti gak sih. Mungkin gak sih mereka yang di luaran
sana sering ribut karena komunikasinya jelek. Kayak kamu cerita gini aja, kalo
posisinya aku itu istrimu, pasti aku bolehinlah. Ngapain dilarang-larang.
Namanya juga seru, hobi juga.”
“Nah iya bisa juga karena itu permasalahannya. Masalah di komunikasi. Akhirnya
gak bisa memahami keinginan atau kebutuhan satu sama lain sampai akhirnya
sering ribut deh.”
“Tapi juga para suami harusnya mengerti.” Ana menimpali. “Ketika para
istri marah seperti itu. Aku pikir karena para istri menganggap suami
bersenang-senang di atas penderitaan istri. Bisa jadi karena sang istri merasa
kebutuhan dirinya tidak terpenuhi tapi suami malah pergi-pergi. Kan itu harus
dipahami jugalah. Wajarlah istri ngedumel.” Ana pun mengubah intonasi bicara
dengan nada sedikit meledak-ledak.
“Pasti karena suaminya kurang memerhatikan istrinyalah itu” lanjut Ana seolah
dirinya adalah istri sungguhan yang sedang terzdalimi dan butuh dipahami oleh
Angga suaminya.
“loh kok kamu malah marah-marah sama aku Na.” Ucap Angga protes.
“Iihh siapa yang marah.”
“lah itu cara ngomongnya. Udah gak sabar pengen jadi istriku apa?”
“Heeeh, enak aja.” Ana mengelak. Agak singut.
“Haah dasar perempuan bisanya cuma mengelak.”
“iya! emang bener aku mau jadi istrimu! Terutama biar aku rusak semua
ekspektasimu itu” Ana meletup-letup bak gunung meletus yang menyemburkan api
panas.
“Hahahaha.” Angga lalu tertawa lepas. “Berarti kamu gak mau tahajud
bareng nih?” tanya Angga kemudian.
“Enggak!” jawab Ana agak kasar.
“Waahhh, istri durhaka berarti kamu Na. hahaha” sahut Angga dengan gelak
tawa lagi.
“Hehehe” Ana pun hanya bisa tersenyum mrenges. Dalam hati kecilnya “wah
pengen banget shalat tahajud bareng si goublog satu ini.”
Malam itu, Ana merasa chemistry diantara dia dan Angga seperti telah
terbangun. Ana tidak lagi memahami isi perasaanya karena semua muncul dengan
sangat natural. Harapan datang secara natural. Mengalir begitu saja. Dalam hati
Ana, dengan tiba-tiba sangat menginginkan keberbersamaan dengan Angga. Dengan
apa yang telah diekspektasikan tadi. Ana tentu sangat ingin bertahajud bersama.
Ingin menghapal Al-Qur’an juga. Ingin memiliki keluarga yang harmonis juga.
Entah mengapa hal itu sangat mudah meresap di ubun-ubun perasannya.
Apakah karena perempuan sangat lemah dengan pendengaran. Apakah karena
perempuan tidak bisa mendengar pujian, janji, kalimat kalimat cinta, sebab itu
akan melemahkan hati mereka. Barangkali memang inilah yang Ana rasakan terhadap
Angga. Perasaanya mudah mencair ditengah ilusi yang dia miliki dan juga kalimat
menyenangkan yang keluar dari mulut Angga beserta candaan yang ikut serta
membumbui.
Malam semakin larut. Bintang bintang berkelip terang sementara yang
lainnya sembunyi dibalik awan tebal. Ada rembulan terang yang menyinari dataran
bumi yang tenang. Juga alam sekitar dengan khas perkampungan yang tertutup
kegelapan. Ana duduk di pojok balkon menghadap langit malam. Wajahnya
tersembunyi di tengah lampu yang sayu kekuning-kuningan. Dia merasa cukup
tenang menghadapi ekspektasinya ini, entah suatu saat menjadi nyata atau tidak.
Tapi dia terus saja mencoba menggali lebih jauh bahwa Angga bisa menjadi
pendamping hidup yang tepat. Agar memang tidak salah langkah atau salah memilih
pasangan. Namun di lain sisi tumbuh hal baru yang cukup menyayat hatinya, dia
mulai takut kehilangan. Yang lebih menyayatnya lagi, dia takut kehilangan
bahkan untuk sosok yang belum diketahui keseriusannya.
Ana dan Angga telah terdiam lama. Mereka membisu di tengah obrolan yang
cukup serius untuk dibahas.
“Oh ya coba kak Angga yang nanyak ke kamu sekarang. Kira-kira ekspektasimu
tentang pernikahan gimana?” Angga lalu angkat bicara.
Ana berpikir sejenak.
“ekspektasiku dalam pernikahan?” Ana bertanya ulang.
“iya.”
“hhmmmm, ekspektasiku.” Jawab Ana pelan, “keabisan minyak pas akhir
bulan, keabisan beras, gas kosong gak ada yang pasangin, sibuk ngurus anak
sendirian sementara suaminya main bola keluar sampe tengah malem.”
“waahahaha.” Dari jauh Angga lalu tertawa. “Sarkas abis.” Lanjutnya
merasa tersindir.
“hahaha,” Ana lalu ikut tertawa menyadari reaksi Angga. “Terus apa yah?”
Ana berpikir lagi.
“Nantinya tuh harus terima kenyataan, 2 atau 3 tahun pernikahan akan
terlihat sisi buruk masing-masing. Yang tadinya bisa tahan amarah di tahu awal
pernikahan. Mungkin saat memasuki pernikahan ke dua dan seterusnya udah gak
gitu lagi, bakal meledak-ledak juga. Pasangan kita akan berubah 100%. Bisa jadi
sikapnya tidak menghargai kita lagi sebagai pasangan. Bisa jadi sudah mulai
berani merendahkan satu sama lain. Yah bakal ada momen menyakitkan seperti itu
nanti”
“ooohh gitu.”
“Iya, dan nantinya kalau Ana fisiknya berubah. Gak cantik lagi. Udah
susah mau ngerawat-ngerawat badan karena harus selalu ngurusin anak kan. Terus
akan ada momen sakit juga. Pasti bakal tambah jelek banget lah nanti. nanti
kesetian pasangan akan terlihat di situ. Jadi nanti harus kuat-kuat misalnya
suami lebih suka keluar nyari hiburan dari pada ngerawat istri di rumah.
Mentalnya bakal terguncang nanti”
“kok pola pikirmu itu berbeda dari yang aku pikirkan sih?” Angga memotong
kalimat Ana.
“Yah gimana.” Jawab Ana. “Kalo kenyataanya pernikahan akan membawa
kebahagiaan yah itu pasti dan semua orang juga mampu melewatinyalah, tapi kalo hal-hal
tersulitnya? Nah belum tentu bisa. Nanti kan hal buruk bakal macem-macem, yang seperti
ini dan ini, dipersiapkan mentalnya. Ibaratnya
kalo sampe kejadian hal seperti ini bagaimana pegambilan sikapnya sih, nah itu
perlu sekali dipikirkan sih.”
“hhhmmmm” Angga berdeham paham.
“yah kalo bahagia pasti bahagia. Ana juga punya segudang kreativitas
untuk tahu bagaimana caranya membahagiakan pasangan. Ana tahu banget bagaimana
membuat pasangan ku nanti, bisa merasa
diperlakukan layaknya raja di hatiku. Cailah.”
“haduh beurat beurat.” Ucap Angga
menanggapi.
“hahaha.” Ana lalu tertawa malu-malu. Dalam hatinya “Ini gue mau jadiin
elo raja nya loh goublog.”
Tapi Ana hanya bisa diam. Seketika rasa takutnya sedikit memanggil. Ia
masih sadar bahwa Ana tidak tahu siapa sosok yang menjadi takdir untuknya
kelak. Angga mungkin terlihat sangat manis untuk sekarang tapi hati dan
keinginanya masih tidak bisa ditebak. Ana sendiri sama. Sekarang dia bisa
bermanis-manis dengan Angga. Tapi suatu saat, hati dan keinginannya masih tidak
bisa ditebak.
“hhhmmmm” Ana berdeham melepas suaranya agak keras.
“Kenapa?” Tanya Angga lembut.
“Aku sebenarnya sering menangis karena membayangkan sesuatu, pas
malem-malem atau pas lagi sendirian?” Ucap Ana pelan.
“membayangkan apa?” Tanya Angga penasaran.
“membayangkan pernikahan.” Ana lalu sedikit terhanyut dengan apa yang
akan dia bicarakan, “kalau nanti aku sampai bisa menikah dengan seseorang
karena Allah. Menikah dengan seseorang karena keimanan nya. Menikah karena
surga terasa menjadi lebih dekat. Ana akan sangat sangat bersyukur sekali dan akan berjanji dengan diri Ana sendiri untuk
menjadi istri yang paling ta’at sedunia.” Ana lalu sedikit meneteskan air
matanya. Entah bagaimana khayalan pernikahan yang sesungguhnya tiba-tiba
terekam kuat di alam bawah sadarnya. Dia sadar bahwa inilah keinginan
sebenar-benarnya keinginan yang berada jauh dalam lubuk hatinya. Menikah karena
Allah SWT.
Di sudut dataran bumi yang nun jauh di sana, Angga juga terdiam lama
mengartikan isak tangis kecil Ana. Angga sedang melihat plapon kamarnya.
Tertidur sambil menghadap lampu kamar berwarna putih. Dia berpikir betapa
tulusnya keinginan Ana. Dalam hati kecil Angga dia sampai mendoa’akan Ana
semoga kelak anak ini bertemu sosok sempurna di mata Tuhannya. Angga tidak
berpikir bahwa orang itu adalah dirinya. Bahkan karena melihat keinginan Ana
yang begitu tulus, Angga semakin yakin Ana seharusnya bisa mendapat yang jauh
lebih baik dari dirinya. Barangkali Angga sadar bahwa Ia jauh dari sosok yang
Ana inginkan.
“Angga udah dulu yah telponanya.” Ucap Ana dengan nada melemah. Mendadak
Ana memang ingin mengakhiri saja obrolannya itu.
“owh oke, kamu udah ngantuk yah?”
“iya, lumayan.”
“Yaudah. Eh tapi Ana, sebelum ditutup dengar baik baik kalimat kak Angga
yah. Perempuan baik untuk laki-laki baik. Ana belajar terus jadi perempuan yang
sholehah. Hati-hati dengan pergaulan sekarang dan niatkan pernikahan untuk
menjemput ridho Allah.”
“”ini buaya kalo lagi ngomong emang begini yah?.” Ucap Ana berusaha melawak kembali.
“Eh asem juga kamu Na.” Ucap Angga tak terima, “udah bocil sana tidurlah
kalo gitu.”
“hehehe. Oke bye. Assalamualaikum bye. dadah” sahut Ana sok centil kembali.
“hhmmm waalaikumsalam.” Angga pun menutup telpon dengan raut wajah heuran
seheuran-heurannya. Bahkan dia ikut menggelengkan kepala.
“tutttt” telpon pun sudah tertutup.
Ana terdiam sejenak dan menatap rembulan bintang yang bergantungan di
langit indah. Pikirannya kini mulai terpaku pada sebuah tujuan hidup dan asmara
yang kini sedang ia jalani. Dia ingin sekali berjuang terlebih dulu menemukan
karir yang ia inginkan di tengah kota yang belum memberinya kesempatan itu. Di
lain sisi Ia berharap semoga Ia dapat menemukan pedamping hidupnya di sana.
Kalau memang itu Angga, mungkin akan baik tetapi jika bukan Angga pasti Ana
akan bertemu kesempatan baru untuk menemukan sosok yang lebih baik.
Saat itu Ana merasa perlu mempersiapkan diri, mempersiapkan mental,
mempersiapkan jiwanya agar mampu melewati apapun yang tentunya akan ditemukan.
Ia merasa yakin segala sesuatunya pasti akan diatur oleh Allah SWT. Jalan
kemudahan atau rintangan pastilah akan dia hadapi. Yang Ana butuhkan sekarang
hanyalah harapan dan keyakinan.
Dengan langkah mengantuk, ana menutup pintu dan meninggalkan teras balkon
nya. Dia kembali ke dalam kamar dan menguncinya lalu menyetel lagu favoritnya. “amin
paling serius” dari Sal Priyadi dan Nadin Amizah. Terlelaplah dirinya dalam angan-angan,
dua insan yang bersatu dalam kagum yang sama.
👍👍👍
BalasHapus