JODOH TIDAK AKAN KEMANA
Written by Khoti Isnaeni
"Takdir yang telah membuatku jatuh cinta maka biarkan takdir pula yang menyelesaikannya. "
“Hey
Cantik.”
Aku
sempat malu dan gak karuan rasanya ketika mendapat sapaan itu dari Amir. Sempet
senyum-senyum namun secara mendadak senyumku berubah manyun.
“Apa
sih manggil-manggil”
Amir
langsung merespon.
“Cacar
bintik-bintik.” Sambil ketawa jumawa.
Begitu
dengar kalimat itu, sumpah deh aku langsung lari ngiprit dan menjauh kayak
kadal dikejar ular kobra.
***
Heey,
aku Leli, sering disapa Leli oleh kawan-kawan. Sudah 10 tahunan silam cerita di
atas telah terbenam, namun masih seperti baru saja terjadi kemarin. Dulu aku memang menyimpan perasaan cintaku
pada Amir, seseorang yang kukenal sejak di bangku SMA. Diawali dengan panggilan
cacar bintik-bintik yang aku rasa menarik juga untuk diceritakan. Kalau boleh
jujur, itu adalah salah satu permulaan mengapa aku bisa suka. Karena dia pernah
meledekku dengan panggilan cacar bintik bintik. Gak tau kenapa diledek oleh dia
ternyata menumbuhkan bibit cinta di hati. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari
rencana semesta, hal kecil seperti itu rupanya berdampak sangat besar terhadap
seluruh perasaanku. Boleh dikatakan tak masuk akal, tapi biarkan aku bercerita
mengenai kisahku ini padamu. Agar kau pun paham bagaimana perasaanku.
Setelah
10 tahun telah dilalui, sekarang aku sedang bekerja di sebuah kantor sembari
duduk menatap photo pernikahanku bersama suami tercinta. Ada sebuah kisah yang ingin ku sampaikan
mengenai Amir, kisah yang mungkin akan memberikan pemahaman, entah pemahaman
apa itu. Yang jelas ini adalah sebuah kisah mengenai rencana yang dibuat oleh
Allah SWT, pembuat skenario terbaik untuk kehiduapn manusia di muka bumi.
Dimulai
dari sebuah quote. “Takdir yang telah membuatku jatuh cinta maka biarkan takdir
pula yang menyelesaikannya.”
10
tahun silam memang quote itu yang sudah mengiringi perjalanan cintaku ke Amir. Perkara
suka ternyata seringkali membuatku termenung
sendiri di depan rumah sambil mencoba untuk menyingkap sebuah hakikat jatuh
cinta yang kualami terhadapnya. Untuk aku yang selalu bahagia saat ketemu Amir.
Sesungguhnya aku juga selalu berfikir, memang bukan memiliki yang terpenting namun perasaan
jatuh cinta itu sendiri yang utama. Makanya meskipun suka dengan dia, aku
dengan rapat menyimpan perasaan. Yah tau sendirilah jatuh cinta itu rasanya
gimana. Ketemu seneng, gak ketemu nyariin. Hampir selama SMA waktuku dihabiskan
untuk hal itu. hebat kan? Sorry muji diri sendiri.
Dulu
aku mengagumi Amir, yah aku biarkan hal itu menjadi kekaguman, sampai kemudian
aku menyadari bahwa aku menyukainya diam-diam. Pun aku biarkan hal itu menjadi rasa suka diam-diamku
juga. Sebab selain tidak ingin mengungkapkan perasaan ini padanya karena
menjaga atas nama perasaan. Tak lama dari itu, Amir lalu menjadi kekasih orang
lain. Yang tambah membuatku menyimpan rapat-rapat seluruhnya adalah karena kekasih
Amir adalah teman SMA ku. Apa lagi yang membuatku harus menyimpan semuanya, kekasih Amir bahkan adalah teman satu kosan ku
saat kuliah. Ini gila bukan? Tentu sangat gila sekali. Kok bisa terjadi. Tetapi
memang demikian kenyataan yang ada.
“Leli,
aku seneng banget Lel, si Amir, kamu tahu si Amir? Dia nembak aku kemarin
malam,”
Kira-kira
itulah kegilaan yang pertama kali aku dapatkan yang Mila sampaikan di pagi aku
terbangun.Yang pada saat itu, sontak membuatku kaget, flat, dan gak tau musti
berekspresi seperti apa. Ingin sekali bilang, “tolong tolak Amir, dia itu
pujaan hatiku. Tolong jangan mau dengan dia, tolong” Tapi hal itu tidak mungkin
dilakukan mengingat Mila sendiri ternyata menyukai Amir, bedanya, dia mengungkapkan
perasaanya, sementara aku tidak. Bener yah apa kata quote dari orang yang gak
tau namanya siapa, “yang tidak menyatakan akan kalah dengan yang menyatakan.”
Hal
yang gawat, semenjak itu aku merasa setiap jam adalah darurat. Menghadapi Mila
dan Amir yang resmi berpacaran dan kerap kali tepon-telponan di depanku atau
bahkan jalan berdua ke suatu tempat. Aku merasa setiap hari adalah kiamat sugra.
Namun rasa yang kualami selalu berhasil diredam juga. Aku tahu persis, cinta
bukan soal memiliki tetapi juga soal kebahagiaan ketika melihatnya bahagia
meski dimiliki orang lain.
Jam
5 sore, saat itu seperti biasa aku menghabiskan waktu luangku untuk membaca
novel. Beda halnya dengan Mila.
“Iya
Mir, lucu banget yah, dulu kita masih polos banget.”
Tentu
saja mereka berdua bercakap-cakap layaknya dua si joli yang sedang kasmaran. Dilakukan
tepat di depanku, bayangkan.
Untungnya,
aku dapat menyembunyikan perasaan ku ini. Jangankan rasa suka yang sungguh aku
simpan rapat-rapat dari Mila dan Amir, rasa cemburu, rasa penasaran, rasa getir
di hati, semua kukantongi dan tak kubiarkan berceceran di depan mereka.
“Oh
ya Mil, si Leli lagi ngapain kok sepi banget di kosan?” secara tiba-tiba
percakapan itu terdengar di telingaku. Aku termangu dan merasa salah tingkah
sendiri mendengarnya. Andai saja itu bukan sebuah pertanyaan basa-basi, tapi
sayangnya aku merasa itu pertanyaan yang super basa dan super basi.
“Oh
iya, seperti biasa, Leli jam segini suka baca buku novel Mir, dia itu rajin dan
senang banget membaca.” Jawab Mila yang tentu terdengar jelas di telingaku.
Aku
masih meneruskan membaca buku tetapi melihat Mila mengobrol begitu dengan Amir,
akhirnya aku menguping juga. Ada kali obrolan yang membahas masa-masa SMA
mereka tapi lebih banyak membicarakan masalah kuliah.
“Lel,
Leli...” panggil Mila kemudian. Aku menengok dan menutup sedikit bukuku.
“Kamu
mau gak ikut kita berdua nonton, Amir mau ngajak nih, biar seru katanya?”
Mila
tersenyum padaku. Aku sedikit kaget namun pada akhirnya berfikir juga sambil memalingkan pandangan ke
atas.
“Hhhmm,
kapan memang?”
“Besok
sore Lel, bisa yah?”
Dengan
terpaksa aku mengiyakan permintaan Mila yang mana secara tidak langsung aku
sedang menyerahkan diri untuk terjun langsung pada kiamat kubro. Tapi tidak
mengapa, mungkin dengan begitu aku juga akan mampu mengetahui banyak hal
tentang Amir. Tetapi bukan itu sih yang paling utama. kupikir kalo nontonya
gratis, itung-itung refreshing aja.
“Yaudah,
beneran yah besok mau, jangan berubah pikiran loh.”
Aku
hanya mengangguk dan melanjutkan membaca novel.
Keesokannya,
jam 4 kami sudah tiba di Center Plaza untuk menonton My Stupid Bos. Jantungku
berdegub-degub mau copot antara tak kuasa bersi tatap dengan Amir langsung,
juga tak kuasa harus menyaksikan mereka berdua berpacaran di depanku.
Bagaimanapun
ini adalah ujian terberat di samping ujian-ujian yang lain ketika di kosan. Aku
akan menyaksikan sendiri bagaimana mereka saling berhubungan atau yang paling
parah. Aku akan menyaksikan mereka bergandengan tangan, bermesra-mesraan dan
sebagainya-sebagainya.
“Hei
Mila, hei Leli.” Amir kemudian tiba dari arah pintu masuk bioskop. Aku
terkesiap. Kami yang sejak tadi sudah menunggu di kursi panjang, bergegas
berdiri menyapanya. Mila yang lebih cepat menghampiri Amir langsung menyalimi
tangannya dan mencium tangan Amir. Sungguh kebiasaan yang unik untuk dua orang
yang sedang berpacaran. Aku sedikit terkekeh namun kecemburuan juga melanda
hatiku perlahan. Chemistry mereka berdua untuk menjadi pasangan suami istri
sepertinya amatlah kuat. Terbukti dari cara Mila melakukan pertemuan.
“Heey
Leli, apa kabar kamu?” Amir langsung megulurkan tangan kanannya dan hendak
mengajak berjabat tangan.
“Hey
juga, oh alhamdulillah kabarku baik.” Seketika aku membalas jabatan tangan Amir
dan secara reflek mengembangkan senyum padanya.
“Oh
ya, ayok kita masuk keburu mulai filmnya.” Mila menarik tangan Amir dan
bergandengan tangan sementara aku, hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.
Kalau dilihat-lihat formasi ku ini sungguh mirip ajudan yang sedang mengawal
pak presiden. Bener kok, seperti yang sudah kubayangkan. Seperti yang sudah
kuduga-duga. Ingin rasanya deh aku menenggelamkan diri ke dalam minyak goreng saat
itu, tapi apalah daya aku tak berani, panas euy.
Di
dalam bioskop, kita bertiga mempunyai formasi lain lagi. Amir di tengah
sementara aku dan Mila ada di samping kanan kiri Amir. Dan kemudian hal yang
paling membikin aku canggung itu dimulai. Mila yang asik menikmati film My
Stupid Bos karena saking lucunya ini film, membuat dia begitu fokus dan banyak
tertawa. sementara aku sungguh kuwalahan
mengatur detak jantung sendiri, akibat
duduk terlalu dekat dengan Amir. Sampai-sampai untuk sekedar membuka mulut
saja, hal itu seringkali kutahan. Sebab aku tak mau terlalu ngakak-ngakak di
depan seseorang yang aku sukai. Ya begitulah tabiatku, lebih besar rasa malunya
ketimbang rasa blak-blakannya.
Aku
menyernyit. Untuk kali pertama, aku tak sengaja menengok ke arah Mila. Dia
tertawa sangat lepas, sehingga menengok adalah tindakan reflek yang kulakukan. Untuk
pertama kali itu pula jantungku memacu detaknya lebih kuat lagi. Ini tidak lain
karena Amir yang memandangku hingga kitapun akhirnya saling pandang-pandangan.
Aku terkesiap, ku tarik dengan cepat wajahku dan kembali memperhatikan layar
bioskop. Sampai akhirnya jantung masih saja berdegub-degub, perasaan grogi
makin tak karuan dan aku ingin pingsan saja saat itu.
Usai
menonton, aku mencoba lebih relax lagi dalam berinteraksi dengan Amir.
Bagaimanapun aku menganggap dia adalah pacar kawanku, tak lebih. Adapun rasa yang
kumiliki, aku mampu untuk menyimpannya sampai dengan waktu yang tak bisa
ditentukan. Sebab, aku tak tahu bagaimana bisa aku menghentikan rasa yang
kumiliki. Rasa yang kualami sudah seperti takdir dalam kehidupan, adapun jika
kelak berubah, itupun karena takdir yang telah mengubahnya.
“Ya
udah, dah Amir, aku dan Leli pulang dulu yah. Sampai ketemu besok.” Mila
menyalimi Amir lagi dan mencium tangannya sebagai tanda mereka berpisah.
Lagaknya memang seperti suami istri. Aku dengan cuek langsung nyelonong saja
memasuki taksi online yang sudah kita pesan. Kuperhatikan mereka lalu saling
dadah-dadah seperti anak kecil berpisah dengan sahabat mainnya.
Aaah
aku memang cemburu namun biarlah. Tak buruk juga mengalami hari bertemu dengan
Amir dan Mila. Bahkan dalam menyaksikan mereka berpacaran macam itu. Aku masih
bisa menahan rasaku agar terjaga dengan tenang. Pokoknya biarkan saja Tuhan
yang mengurusnya, aku gak mau terlibat dalam kasus percintaan mereka, karena
pintu untuk mengungkapkan perasaan ku ke Amir memang benar-benar telah ditutup.
Dan aku tak mau menjadi sebagai pengganggu. Dah pokoknya itu saja.
Waktu
berlalu, 2 tahun kemudian, hari kelulusan yang dinanti-nanti akhirnya
terlewatkan. Aku berpisah dengan Mila dan kini bekerja di sebuah perusahaan
swasta sekitaran Bandar Lampung. Sementara Mila, Ia kembali ke kampung untuk
meneruskan usaha ibunya membangun butik. Mila sering mendesign baju-baju dan
memperkejakan para karyawannya untuk merancang karyanya itu. Sehingga butik
Mila pun cukup sukses diminati banyak orang.
Sementara
itu, di lain waktu, aku tidak sengaja bertemu dengan Amir saat di Lampung Walk.
Dia sedang makan dengan seorang laki-laki yang kucurigai sebagai teman
kerjanya. Perlahan aku mendekat dan menyapa Amir.
“Heey,
ini Amir kan?” aku sapa Amir dari belakang sehingga dia terlihat kaget.
“Ohh,
Hei, ini Leli kan?” Amir tersenyum dan nampak tidak menyangka akan bertemu
denganku di sana.
“Iya.
Kok bisa di sini?” kutanya Amir untuk sekedar basa-basiku.
“Iya,
kan aku sekarang kerja di daerah kedaton. Di jalan subroto.”
“Ooh,
di sana. Aku juga kerja di sekitaran sini, gak nyangka yah ada di satu wilayah
rupanya.” Aku tersenyum saja ketika itu, demikian dengan Amir.
Seketika
aku langsung kembali dengan rombongan teman-temanku yang sudah pada duduk
menggrombol di meja makan, dan mengakhiri pertemuan dengan bilang dadah seperti
yang Mila dulu pernah ucapkan pada Amir. Entah kenapa saat itu rasanya kepengen
aja bilang dadah, kayak ada suatu magnet yang menarikku untuk melakukannya dan
untuk pertama kalinya disitu aku merasa ada kehangatan yang luar biasa, mungkin
ini yang disebut kehangatan cinta. Cailah. .
Hari
itu, yang jelas aku merasa senang bisa bertemu Amir. Pertemuan yang membuatku
kembali mengingat perasaanku padanya. 2 tahun memang waktu yang cukup lama
tetapi lamanya waktu tak cukup mengubah perasaanku padanya. Terkadang aku
sendiri heran dan selalu merenungi masalah perasaanku ini. Mengapa bisa hal ini
terjadi. Tetapi aku hanya yakin dan tak ingin mengungkapkan semuanya. Di
samping karena Amir pacarnya Mila. Aku menyerahkan seluruh perasaanku pada yang
di atas. Biarkan Allah saja kelak yang mengubah perasaanku.
1
tahun kemudian setelah pertemuan itu, akhirnya aku mendapat kabar bahwa Mila
dan Amir akan melangsungkan hari pertunangan di bulan Juli 2018, aku sendiri
mendapat kabar itu dari Mila. Saat kabar itu datang, aku cukup mengucap
istighfar sebab saat itu Allah belum juga mengubah perasaanku atau memalingkan
perasaanku ke makhluk lain. Semua perasaanku masih tertuju pada Amir.
Aku
sedih bercampur gundah, bila aku terus begini, sangat kecil kemungkinan bagiku
untuk menjadi Leli yang bahagia. Hingga akhirnya aku berdoa kepada Allah SWT
agar Dia mengatur kehidupanku seindah mungkin nantinya dan membantu masa-masa
penyembuhan patah hatiku. Pada intinya, hanya itu yang bisa kulakukan sebagai
makluk yang berwatak waras. Aku tak ingin mengecoh atau bahkan membuat rusak
hubungan Amir dan Mila. Aku berdo’a pada Tuhan, semoga mereka dikarunia
keberkahan dan kebahagiaan dalam pernikahannya kelak.
Setelah
hari pertunangan itu dilakukan, aku melihat foto mereka berdua yang diposting
oleh Mila. Kala menatapnya, aku merasa Amir sangat tampan sekali. Beruntung
bila Mila bersamanya. Belum lagi Amir yang baik dan penyayang, tentu akan
menambah kebahagiaan Mila dalam memiliki Amir. Mila sendiri, memang perempuan
yang baik dan penuh perhatian. Aku rasa mereka adalah pasangan sempurna yang
akan cocok satu sama lain.
Tapi
aku buang rasa iri itu, pemikiran akan membanding-bandingkan yang sempat
terpatri di kepalaku, lekas kujauhkan. aku do’akan mereka supaya kelak bisa
menempuh hidup menyenangkan hingga pada akhirnya aku merasa jauh lebih tenang
setelah itu. Tak ada lagi angan-angan soal Amir. Yang ada hanyalah aku ikhlas
dengan cerita hidupku dan siap menanam tanaman baru di hatiku.
2
bulan terlewati, pernikahan mereka berdua sudah hampir menginjak masanya. Aku sendiri tidak begitu memikirkan perasaanku
lagi. Sebab aku mulai membangun impian-impian baruku. Memantaskan diriku.
Hingga bekerja lebih giat lagi. Kenyataan takdir yang menyapa telah mengubah
kehidupan memang benar adanya. Setidaknya aku mau menjadi Leli yang jauh lebih
baik dari hari kemarin.
Sore
itu aku masih ingat, ketika sudah membawa berkas-berkas penting ke kantor, aku
pergi beristirahat di ruangan tempat aku bekerja. Aku membuka handphone dan
melihat-lihat Whats’App Story. Ada status mengejutkan dari Mila yang sontak
membuatku lumayan kaget. Disitu tertulis. “maafkan aku Amir, aku telah
mengecewakanmu, semoga kamu lekas mendapat penggantiku yang baru.”
Aku
ingin menghubungi Mila pada saat itu juga, dan memastikan apa yang sedang terjadi.
Namun bukan tabiatku untuk ikut campur atas urusan orang lain. Dan apapun yang
terjadi di antara mereka, sungguh tidak lantas membuatku senang. Aku justru
bersedih karena hubungan mereka telah berakhir. Bagaimanapun ini adalah ironi
kehidupan, Amir dan Mila telah bersama sejak mereka kuliah. Mereka telah
bertahun-tahun menjalani hubungan ini. Dengan menghadapi berbagai keadaan yang
sulit dan senang. Meski, yah, semuanya sempat membatku bersedih hati. Namun
setelah hal ini terjadi, ada hal pahit yang lalu membuatku malah semakin sedih,
kenyataan pahit ini harus ditelan bukan, mungkin Mila tidak, tapi pasti Amir
yang kecewa dan hancur.
Suatu
ketika pasca kejadian itu, aku mendapat telpon dari Mila. Dia hendak ke Bandar
Lampung sendirian dan ingin menginap di kontrakanku. Pas banget, dia pasti akan
menceritakan hal itu padaku.
Rupanya
benar saja, di saat itulah dia lalu menceritakan semuanya. Menceritakan
kejadian apa yang menimpanya dan Amir hingga menyebabkan mereka gagal menikah.
Malam-malam
saat kami sudah di kontrakan. Akhirnya Mila duduk di kasur kamarku. Ku ambilkan
dia air minum dan baju tidurku untuk dia kenakan.
“Jadi
kenapa Mil, ada apa dengan semuanya?” seperti tahu apa yang menjadi beban di
hati Mila, akhirnya aku sampaikan poin ini secara langsung.
“Aku
tidak bisa sama Amir lagi Lel, intinya aku udah gak bisa sama dia.”
“Iya,
tapi kenapa gak bisanya, apa kalian punya masalah yang serius?” tanyaku cukup
penasaran.
“Aku
jatuh cinta dengan lelaki lain dan aku gak mau dengan Amir lagi.”
“Apa!?”
aku lalu bicara cukup kaget bahkan sedikit ngegas sampe Mila sendiri melirik
heran terhadapku. Bagaimanapun tentu aku kecewa dengan Mila, aku kaget dan aku
kasihan dengan Amir. Ini bukan lagi soal apakah aku patah hati akibat mereka
bersama, tetapi ini lebih kepada Mila yang telah membuat Amir kecewa, di mana
posisi Mila yang sesungguhnya aku inginkan, untuk bisa ada di samping Amir. Aku
pasti tidak akan melakukan ini padanya. Aku pasti akan membahagiakannya dan
tidak ingin mengecewakannya. Kali ini aku lalu berandai-andai. Andai saja yang
bersama Amir adalah aku, aku tidak akan melukainya. Andai saja yang berama amir
adalah aku, aku akan membahagiakannya. Andai, andai saja Amir menyukaiku dan mau padaku,
akan ku obati lukanya, akan kubasih perihnya, akan kubuat dia bahagia kembali
seperti sedia kala. Andai semua itu terjadi.
“Iya,
intinya aku suka sama orang, dan intinya aku gak bisa sama Amir.”
Hal
yang tak masuk di akal. Benar-benar mendadak. Benar-benar memilukan. Mereka yang sudah
berpacaran bertahun-tahun, berjuang, saling berkomitmen kuat untuk menikah, kini
harus berakhir dengan Mila yang jatuh
cinta lagi hingga mematahkan hati Amir.
Aku
tidak tahu kenapa bisa seperti itu, mungkin memang banyak orang-orang yang
sudah bertunangan lalu mereka gagal, satu contohnya adalah karena jatuh cinta
lagi. Aah sudahlah, aku benar-benar tak habis fikir tapi aku juga memaklumi
Mila. Tak mau menyalahkan apalagi ikut campur, meski tentu saja aku kecewa
karena Amir harus mengalami ini. Bagaimana pun, aku tidak ingin menghakimi
Mila, sebab Allah lah yang maha membolak-balikan hati.
Peristiwa
mereka gagal tunangan itu telah terjadi sekitar 1 setengah tahun yang lalu.
Kini aku mengenangnya sebagai suatu pelajaran hidup. Pelajaran bahwa sekeras
apapun memerjuangkan, toh kalau tidak berjodoh pasti akan berpisah juga.
Pelajaran bahwa mau bertahun-tahunpun kita akan berpacaran, kalau tidak
berjodoh yah akan berpisah juga. Lalu hal ini menjadi cacatan selanjutnya bagi
kehidupanku.
***
Aku
yang belum menuntaskan seluruh ceritaku karena harus pulang cepat-cepat. Tetapi
akhirnya aku tulis cerita ini kembali ketika sudah ada di rumah.
***
Aku
pulang dari kantor menuju rumah kesayanganku, setelah berhasil menceritakan
separuh kisah singkat perjalanan cintaku
ini. Aku langsung menemui suamiku tercinta yang katanya sudah menyiapkan makan
malam untuk ulang tahun ku yang ke 25 tahun. Aku tidak sabar dan benar-benar
tidak sabar. Seketika aku melangkah masuk rumah.
“Taraaaaaa”
mas Amir langsung mengagetkanku di depan pintu dengan membawakan kue tar rasa
coklat. Aku terkesiap namun kejutan ini sudah tercium sebelumnya. Pura-puralah
aku kaget di depan mas Amir.
“Iih,
sayang nih, bikin kaget aja.” Aku misuh-misuh mengelus dada, pura-pura kaget di
depan dia rupanya memang berhasil.
“Iya
dong, emang sengaja aku mau ngagetin kamu. Weeeekkk.” Dia lalu tertawa.
Langsung
aja ku cium keningnya berkali-kali, dasar kamu mas, gak tau aja kalau
sebenarnya aku pura-pura kaget. Lalu senyum ngiklik serta terharu di dalam
hati.
Aku
sangat bahagia sekali. Semua yang telah kuceritakan sebelumnya kini telah
menjadi sebuah anugerah dimana aku akhirnya bertemu mas Amir di Lampung Walk lagi kala itu, pertemuan
yang tidak disengaja hingga berakhir dengan saling bertukar nomor. Rupanya dia
memang mempunyai niatan untuk mendekatiku hingga pada pendekatan di tiga bulan pertama, dia lalu datang ke rumah. tidak tanggung-tanggung, dia datang ke rumahnya membawa rombongan
keluarga untuk mengatakan I LOVE YOU alias melamar ku.
Bagaima mungkin aku gak shock. Huhuhu kini quote itu
benar. Takdir yang telah membuatku jatuh cinta maka biarkan takdir pula yang
menyelesaikannya. Aku tidak perlu ngapa-ngapain kan? cukup diam saja dan
menerima kenyataan yang Tuhan beri, tidak mencela pun tidak memberontak. Dan
pada akhirnya takdirku telah selesai, bukan suatu kebetulan kalau pada akhirnya
aku bersama mas Amir, seseorang yang dulu pernah aku cintai diam-diam. Seseorang yang telah
menjadi takdirku. Karena memang semuanya sudah diatur demekian indah olehNya,
oleh Allah SWT yang menguji diriku untuk pandai menjaga rasa.
Komentar
Posting Komentar