KEAJAIBAN SABAR
Written by Khoti Isnaeni
Pagi-pagi,
aku masuk ke dapur rumah. Bersama amak dan adik ku Annisa yang sedang
menyiapkan sarapan. Di sana amak belum sama sekali tahu bahwa anak bujangnya
sudah membuat keputusan untuk segera menikah. Sayang nya aku memang ingin
merasahasiakan ini sampai amak pusing dan benar-benar diujung protes. Hingga tak perlu menunggu lama, protes
itupun diterbangkan ke udara saat aku duduk meminum teh di belakangnya yang
sedang memasak.
“Rian,
jadi kapan yah amak mu ini bisa nggendong cucu dari kamu. Amak tuh udah banyak
yang nanyak loh, itu anak bujangnya kapan nikah kok sibuk karir terus.” Amak
mengomel seperti pusing dengan tanggapan netizen. Dia lalu selesai memasak dan
duduk di meja makan membersamaiku. Matanya langsung memancarkan harapan
setinggi gunung everest. Benar-benar tak terkira pancarannya. Aku tahu bahwa
itulah cara amak merayu yang sebenarnya. Harus terlihat memelas dulu supaya aku
mau prihatin dan berusaha membuatnya senyum kembali. Padahal sungguh, di dalam
hatiku. Aku sendiri sudah menyimpan tawa setan. Amak pasti akan kaget atau
malah senang tak tertolong lagi jika aku katakan sudah ada calon yang akan
kulamar.
“Mak,”
aku pegang tangan amak penuh senyum. Wajahnya yang masih cemberut lantas
dipaksa mengembangkan senyum.
“Jadi
maksud Rian pulang ke rumah menemui amak memang mau menyampaikan ini.” Aku bicara pelan. Khawatir amak akan
mengeluarkan reaksi berlebihan dengan kabar ini. amak diam dan masih membisu.
“Rian
sudah ada calon mak. Jadi kapan amak mau bantu Rian ngelamar calon Rian.”
Sambungku kemudian sekaligus memutus wajah cemberut amak menjadi brutal kesenangan.
“Kamu
serius Rian. Eh tunggu, kamu gak lagi nge-prank amak toh?” Amak berdiri dan tak
sengaja mendorong kursi sampai menghasilkan bunyi keras. Saking senangnya amak
pun hampir merusak prabotan rumah tangga ini. Aku hanya tersenyum menyaksikan
wajah bahagia amak. Bagaimana pun cara ini bisa membuat amak diam atau
setidaknya sudah tak pusing lagi dengan tanggapan netizen tetangga rumah.
“Amak
terlalu sering menonton vidio prank di youtube. Rian serius. Nanti malam kita bicarakan
lagi soal ini yah mak, Rian mau mengecek tugas dulu di kamar.” Ucap ku kemudian
pada amak ku yang masih tak menyangka dengan kabar ini.
“Iya
Rian. Jangan lupa yah Rian kenalin dulu wanitanya ke amak. Amak pasti bakalan
senang tujuh turunan. Iyakan Annisa” Jawab amak berlebihan.
“Iya
mak pasti”
Aku
lalu memasuki kamar dan kembali membuka tugas yang belum dikerjakan di laptop.
Di dalam kamar aku lalu diam mematung. Aku merasa sedih sekaligus bertanam
kebahagiaan. Amak, maafkan anakmu yang sudah tidak waras ini. Aku memang akan
menikah mak tapi itu karena Rian tak bisa membiarkan amak terus merasa sedih
karena kesendirian yang Rian rasakan
meski nyatanya Rian lebih senang menjalani hidup sendirian daripada harus
menikah dengan wanita lain selain Nabila. Pernikahan ini nantinya, meskipun
sudah terjadi sekalipun, bukanlah pernikahan yang akan mendatangkan
kebahagiakan di dada Rian amak. Rian justru akan semakin terluka karena harus
bersanding dengan wanita lain namun isi kepala Rian sendiri adalah masih
tentang Nabila. Maafkan Rian amak karena anakmu rupanya sudah segila ini.
Aku
yang telah mengambil keputusan untuk menikahi Ana juga mengalami rasa sedih
yang menulang sum-sum. Bagaimana tidak. Ana bersedia menikah denganku dengan
sebuah komitmen setan yang kujanjikan padanya. Hal ini tersebab hati yang tak
mampu berbohong lagi. Aku tak mau menghias pernikahan dengan dusta dengan
keanehan tingkah lakuku yang tak mencintai istri maka akan membuat istri itu
sendiri bertanya penasaran dengan diriku.
Namun
pilihan yang tepat adalah memberi tahu pada Ana tentang pernikahan tanpa cinta
yang kelak kusajikan padanya agar dia tahu dan tak berharap mengenai cinta
pernikahan dariku. Aku tahu ini sungguh menyalahi takdir. Perasaan berdosa pun
kian menumpuk di tas ubun-ubunku. Tapi keputusan ini sedikit membuatku lega
karena ada amak yang cemas yang ingin melihatku segera menikah. Dengan
pernikahan ini setidaknya urusan amak telah selesai meski urusanku sendiri bahkan
tidak diharapkan akan berakhir.
Usai
menyelesaikan tugas kantor. Aku keluar rumah mengendarai sepeda untuk
berjalan-jalan. Aku berharap bisa melihat Nabila untuk sepintas lalu, entah di
jalan atau di warung. Sudah lama semenjak kepulanganku dari Kairo. Aku sama
sekali belum bisa memberanikan diri untuk menemui Nabila secara langsung.
Setiap kali terbesit nama Nabila saja, aku harus mengalami rasa bersalah yang
melukai relung hati. Apalagi bila aku harus menemui dirinya. Tak lalu di dalam
pirikanku, luka seperti apa dan butuh beberapa hari untuk menetralkannya. J
Aku
tahu dia adalah setrum yang kuat dalam menyambar urat nadi dan hatiku. Sekali melesat
luka itu seperti menggores tak terkira, membuat hidup penuh kemurungan dan
kepedihan. Namun kini aku harus bisa melihat wajah anak itu. Wajah yang entah
sudah berapa tahun sejak aku berangkat ke Kairo untuk melanjutkan kuliah tidak
sama sekali pernah kutemui. Hanya komunikasi via SMS dan telpon yang sempat
terjalin satu tahun lalu ke belakang. Itupun sangat jarang karena kesibukan
belajar yang membuat aku memiliki komunikasi renggang dengannya. Entahlah, yang
kuingat lalu pesan terakhirnya yang cukup mengagetkan itu. Sebuah pesan
pemberitahuan bahwa dirinya akan segera menikah.
Aku
kayuh sepeda ini pelan-pelan. Kukitari jalanan perkampungan ku yang juga
kampung milik Nabila. Aku sengaja memasuki komplek perumahannya, tempat dirinya
tinggal dengan suaminya itu. Getar-getir aku mengayuh sepeda ini. Degub-degub
jatung sudah mulai terasa membersamai. Kini aku tahu sekedar berniat ingin
melihat Nabila yang belum tentu diiyakan oleh Tuhan saja, aku harus mengalami
kecemasan sekuat ini.
Aku
melihat beberapa kerumunan ibu-ibu yang membeli sayur keliling di jalan. Dari
kejauhan mataku sudah beradu pandang dengan hal ini. aku sudah berfikir
mengenai apakah Nabila disana atau tidak. Lalu aku mengayuh sehingga semakin
dekat dan jelas semuanya. Rupanya si Nabila tak di situ. Entah bagaimana aku
sudah berfikir kuat bahwa Nabila sedang membeli sayur sebab aku tahu anak ini
sangat senang memasak. Apa mungkin kesenangannya menghilang karena tak begitu
nafsu menghidangkan masakan untuk sang suami. Barangkali pernikahan mendadak
itu tak mendatangkan cinta padanya. Hingga malaslah dirinya menekuni kegemaran
memasaknya itu. pemikiran yang sia-sia.
Aah,
masih kukitari perkampungan ini dengan ketegangan urat tubuhku. Rasanya aku tak
bisa rilex seperti saat aku berada jauh dengan Nabila. Hatiku dipenuhi aneka
kecemasan yang sulit dijabarkan rasanya. Kini aku telah mengira, kehidupanku
sudah sempurna miliknya. Milik Nabila yang kini membuat sebagian hidup sudah
lumpuh untuk dijalani.
Aku
lalu berhenti di sebuah gardu di perempatan. Di salah satu sisi terdapat warung
yang ramai dikunjungi ibu-ibu untuk belanja kecil-kecilan. Aku meregangkan kaki
sambil terus memandangi kegaduhan sekitar. Ini benar-benar komplek milik Nabila.
Maka tak salah lagi. Mataku pun ikut was-wasan menyaksikan apa saja yang
terdapat dihadapanku. Barangkali di sini adalah tempat dimana Nabila sering
merumpi atau berbelanja.
Sejenak
tidak kudapati keberadaanya. Nabila tak ada di tukang sayur keliling, juga
tidak ada di warung ini. Perkiraanku lalu menuju ke rumahnya. Barangkali Nabila
memang sedang bersih-bersih rumah atau mungkin mencuci baju. Sebagai kiat
terakhir, maka aku meberanikan diri menyayuh sepeda dan melewati rumahnya. Aku
harap kita bisa saling bertemu dan menyaksikan raga milik masing-masing.
Aku
bersepeda lagi dan menyapa ibu-ibu pedagang juga pembeli sayur. Sedikit kuduga,
ibu-ibu ini mungkin yang membuat amak di rumah pilu dengan omongan mengenai
diriku yang tak kunjung menikah. Tapi tak masalah, ketidakwarasanku sudah tak
mampu dibuat tidak waras lagi. Hanya amak yang mungkin mengalami shock theraphy mengenai omongan tetangga.
Ibu-ibu
lalu tersenyum padaku seiring berlalunya sepeda yang kukayuh. Kini aku akan
melewati rumah Nabila. Aku mengayuh sampai kemudian tiba di depan rumahnya.
Halaman yang bersih seperti baru disapu membuat diriku sadar ada seseorang
berdiri di sana. Setelah kuamat-amati dengan pandangan yang tajam. Berbalik
badan tubuh orang tersebut dan melihatku.
“Nabila....”
aku lalu melongo. Kini aku yang berhenti seketika lalu berdiri mematung menatapnya.
Namun alangkah sedihnya hatiku ketika harus menyaksikan tubuh itu.
Aku
mengambil kesempatan menatap matanya. Nabila lalu mau menatapku yang bingung
harus berbuat apa. Dia menunaikan senyum hangat yang sudah lama tak pernah
kulihat. Kini hatiku dibuat ngilu kembali. Keadaan hatiku rupanya tak kunjung
berubah. Rasa cinta dan kasihan masih sepenuhnya menjadi miliknya.
Nabila,
izinkan aku meyakinkan dirimu walau hanya dengan tatapan mata ini. Cinta yang
dulu pernah hadir masih bersemayam di dalam raga ketulusan yang tak pernah mati.
Cinta yang dulu pernah hadir masih menyisakan jasadnya yang segar dan nyawanya
yang hidup di dalam ruang hampa hatiku. Tidak kah kau melihatnya? Izinkan aku
membuktikan bahwa semuanya masih ada meski ini tak akan mengubah apapun.
Aku
membisu. Tak kusangka kini aku berlinangan air mata. Nabila yang berdiri dan
tak kunjung pergi seolah menunjukan bahwa dirinya telah membaca kesemuanya. Membaca
tangis mataku dan yang jauh dari itu, yang tak terlihat yaitu cinta yang kuat. Mata
miliknyapun memerah dengan bibir yang beranjak kelu. Nabila mungkin tak mengira
bahwa aku datang di hadapannya. Lebih-lebih, mungkin dia tak menyangka dengan pernikahan
yang sudah dia jalani. Bahwa dibaliknya, jauh di ujung sana rupanya ada
seseorang yang menyimpan baik-baik seluruh cinta hanya untunya. Orang itu tidak
lain adalah aku.
Nabila
lalu membalikan badan dan melangkah pergi meninggalkanku. Hanya aku yang lalu
ditinggal berdiri sendirian di tengah jalan depan rumahnya. Aku tahu ada rasa
yang tidak baik menghadiri jantungku saat ini namun kekuatan cinta yang masih
bisa dirasakan cukup menguatkan separuh kehidupan.
Dalam
diriku, aku lalu mengucapkan do’a pada Tuhan. “Ya Tuhan ku. Meski aku dan Nabila
tidak mampu bersama di dunia ini. Izinkan aku bertemu dan bersatu dengan Nabila
di surgaMu kelak.”
Aku
tahu. Memang kadangkala ada satu jenis cinta yang tak bisa disatukan di dunia ini
namun sangat kita harap-harapkan untuk bersatu di kehidupan yang terakhir dan
abadi.
Aku
kayuh sepeda ini lagi dengan air mata yang masih sedikit menetes. Sesampainya
di rumah aku bercerita pada amak di ruang tamu soal pertemuanku dengan Nabila.
Amak hanya memberiku pengertian terbaiknya lagi dan lagi bahwa aku sudah
seharusnya ikhlas dengan jalan takdir yang diberikan oleh Tuhan.
“Amak
jadi ingat sebuah cerita menarik nak.” Amak mengelus rambutku dan memangku
kepalaku di kakinya. Aku hanya bisa kembali bersedih dan hanya mendengarkan apa
saja yang amak ku ungkapkan.
“Ada
kisah tentang Layla Majnun. Mereka dahulu sangat viral karena kebesaran dan
kehebatan cinta mereka. Namun pada kenyatannya mereka berdua tidak bisa
menikah. Tak ada restu. Sampai akhirnya Layla menikah dengan laki-laki lain
yang tidak dicintainya sementara Majnun seketika dibuat gila dan merana.”
“Lalu
apakah yang terjadi Mak?” tanyaku sambil menyimak.
“Lalu
tidak sampai di situ, perjalanan mereka berdua. Beberapa waktu kemudian suami
Layla meninggal dan Layla sendiri tak lama juga meninggal dunia. Tak ada orang
yang tahu bahwa selama ini Layla menyimpan cintanya untuk Majnun selain Tuhan. Majnun
yang mendengar Layla meninggal seketika lebih gila dan merana lagi. Sampai-sampai
Majnun mendatangi makam Layla dengan tubuhnya yang sakit dan hati
terpotong-potong. Menangislah Majnun di sana. Terisak-isak melihat pujaan
hatinya sudah tiada. Sampai kemudian Majnun pun menyusul layla. Dia lalu
meninggal di atas pusara Laila Nak.”
Aku
tersentak dengan cerita amak yang menakjubkan ini lalu hanya diam yang kemudian
aku lakukan. Sementara amak masih terus mengelus kepalaku tanpa melihat bahwa
air mata telah berlinang membanjiri kedua pipiku.
“Nak
bersabarlah atas ujian hidup di dunia ini. Amak mengerti, kamu masih menyimpan
semua cintamu untuk Nabila tapi kehidupanmu dan Nabila harus tetap berlanjut
meski kalian tak bisa bersatu di dunia ini. Kamu harus tetap menikah dan
belajar mencintai kekasihmu nanti. Do’akanlah Nabila kalau kamu benar-benar
mencintainya. Percayalah, hanya cinta karena Allah SWT yang akan mendatangkan
kebaikan dikemudian hari.”
Aku
lagi-lagi tersentuh dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh amak. Untuk kali
pertama aku mendapat pemahaman baru mengenai cinta karena Allah SWT. Cinta di
atas cinta. Cinta paling terhormat meski tak pernah bersinggung badan. Kini aku
menyadari. Barangkali inilah kiblat cintaku terhadap Nabila. Cinta ketuhanan
yang hanya bisa dijalani dengan terus mendoakannya. Tak peduli serindu apa
diriku. Semerana apa hatiku. Semenyiksa apa semuanya hingga yang kufikirkan
terus menerus hanyalah dirinya. Kini, hanya bait-bait do’a yang bisa menghidupi
cinta yang bersemayam pada udara keikhlasan.
Nabila,
semoga kau bahagia menjalani kehidupan ini. Aku tahu kau tak pernah bisa
mencintai suamimu seperti kau menyimpan cintamu padaku. Aku tahu Nabila. Dengan
tubuhmu yang semakin kurus saat kutemui tadi pagi. Dengan cekung hitam yang
mengitari kedua matamu. Dengan tatapan nanar yang kau pancarkan untuk ku. Kau
seolah menyimpan luka mendalam di sana. Luka yang sepenuhnya terdapat aku di
dalamnya. Kini biarkan aku mengerti. Bahwa kita masih saling mencintai meski
kau berijab qabul dengan orang asing yang sekarang menjadi suamimu.
Aku
pun mengusap air mata dan memuluk tubuh amak ku. Bagaimanapun aku masih
bersyukur masih ada amak yang begitu menguatkan. Amak adalah satu-satunya
wanita paling berharga yang bisa mendatangkan kesejukan bagi diriku ketika
perasaan dirundung pilu.
“Amak
terima kasih mak untuk semuanya.” Aku tersenyum pada amak yang lega memandang
diriku.
Komentar
Posting Komentar