KEAJAIBAN SABAR
Written by Khoti Isnaeni
Malam-malam
ketika cuaca sangat dingin, kudapati sebuah panggilan tak terjawab di telponku,
sambil merebahkan badan, aku coba telpon balik nomer dengan panggilan tak
terjawab tersebut, yang tidak lain dari Nabila.
Telpon terhubung.
“Halooo
Nabila.” Kusapa dia saat sudah diangkat.
“Iya
mas,” lalu kudengar suaranya yang sedikit sumbang, tak tahu pasti kenapa bisa
seperti itu. Aku diam, sejenak Nabila mengucapkan sesuatu.
“Mas,
maafin aku yah mas.” Ucapnya yang sontak membuatku penuh tanya.
“Maafin
kenapa Bil?”
“Maafin
aku mas, Nabila gak bisa menunggu mas Arian lagi.” mendadak kalimat itu
membuatku tercenung.
“Ini
gimana sih maksudnya, ada apa sebenarnya Bil?” Suaraku mulai panik, bingung
memikirkan ucapan Nabila yang begitu aneh dan mustahil didengar.
“Ada
banyak hal yang harus Nabila pertimbangkan dan itu berujung dengan tidak bisa
lagi menunggu mas Arian. Nabila akan menikah mas.”
Kini
badanku luruh ke bawah mendengar ucapan terakhir Nabila yang sungguh masih
terdengar gamang. Seperti mendengar sebuah kenyataan berbau ketidakmungkinan.
Aku
terdiam diri, memandang langit, pedih tak terkira.
“Kamu
serius Bil?” Terpotong sudah pertanyaan itu dengan bayang-bayang yang mulai
berkeliaran.
Tatapanku
pun mulai kosong, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Nabila
diam tak menjawab pertanyaanku. Ini seperti tanda bahwa yang ia katakan memang
benar adanya.
Di
bawah terangnya bintang-bintang, keheningan dan aroma kota Kairo yang
memberikan semilir kesejukan. Kuingat wajah Nabila dengan jelas, perempuan nun
jauh di sana, di negara Indonesia yang sudah setahunan ini kutinggal pergi
merantau karena harus mengikuti program beasiswa untuk menyelsaikan S2. Mengenai
perempuan ini, aku telah meminta dia menungguku selama kami berpisah. Aku
memang sangat menyayanginya. Sangat berharapan besar bahwa kelak Nabila bisa
menjadi istriku. Kabar baiknya Nabila sangat setia sampai saat ini. sejak dulu
dia masih SMA hingga sekarang tanpa ada perpisahan atau percecokan di antara
kami berdua. Karena aku yakin dialah wanita terbaik untuk ku.
Kini
Nabila telah menjadi wanita idaman dengan sejuta ilusi di kepalaku. Aku
beruntung mendapatkan dia yang walau sebagai perempuan lulusan SMA di salah
satu kampung di Indonesia sana. Aku sangat menghargai dirinya dan berharapan
besar bahwa kelak dia akan menjadi pengantin ku. Namun, demikian cepatnya
berita ini datang menghampiri, tanpa ada suatu aba-aba yang jelas untuk dijadikan
kisi-kisi bahwa dia tidak bisa seterusnya menunggu. Kini berita itu justru
datang bagaikan petir di siang bolong. Hanya kemudian hatikulah yang kosong
disertai pikiran tak menentu.
Tidak
ada jawaban apapun yang kudengar dari suaranya, hening.
“Nabila
....” ku sapa dia dengan sedikit lebih tenang setelah beberapa detik aku
terdiam. Aku yakin, di sana diapun mengangguk atau barangkali menangis
menyambut suara kesedihanku.
“Bolehkah
mas Arian bertanya sesuatu bil?”
“Boleh
mas.” Suara itu benar menangis. Nabila
menangis. Tak bisa terbohongi lagi bahwa dia pun sedih di sana.
“Apa
benar kamu memutuskan untuk menikah hanya karena mas Arian lulusan s2 dan kamu
hanya lulusan SMA?” tidak kuat memberikan pertanyaan ini. pada akhirnya aku
mengeluarkan air mata juga meski sedikit.
“Itu
adalah salah satunya mas, Nabila tidak bisa menahan perkataan orang yang mengatakan
Nabila bodoh karena masih mau menunggumu. Mereka selalu beranggapan bahwa mas
Arian akan menemukan yang lebih baik dariku dan aku hanya orang kampung biasa yang
bisa disia-siakan kapanpun. Mas, maafkan aku yang tidak berhasil menutup
telingaku atas pembicaraan mereka ini.”
Suara
Nabila terdengar tak terkendalikan lagi, membuatku ikut serta merasakan
bagaimana keadaannya yang penuh tekanan itu. Sayangnya, semua sungguh telat
kupahami. Aku bahkan sama sekali tak mengerti mengenai kegelisahan miliknya
ini. sepanjang aku menjalani masa perkuliahan s2 ku di Kairo, percakapan memang
jarang sekali kita lakukan. Mungkin sekedar telponan di malam hari yang
singkat.
“Bolehkah
aku bertanya lagi bil?” Pikiranku masih
dipenuhi oleh dugaan-dugaan yang barangkali dulu pernah melintas. Tentang
keadaannnya yang tak sepenuhnya ku ketahui.
“Iya
mas, boleh.”
“Apakah
pilihanmu menikah karena usiamu sudah sangat dewasa? 25 tahun sudah bil usiamu
sekarang sementara mas Arian sudah mau menginjak 27 tahun.”
“Mas
.... “ Nabila terdengar menangis lagi, menyebut namaku. Entahlah kenapa aku
memiliki banyak dugaan. Aku percaya bahwa cinta Nabila hanya milikku. Tidak
mungkin dia akan berkhianat sementara aku selalu bisa memastikan kesetiaaku
padanya.
“Itu
juga salah satunya mas. Sangat sulit berada di perkampungan. Seorang gadis yang
belum menikah dengan usia sematang itu. Rumit sekali mas menjelaskan semuanya
padamu. Selama ini, semua kegelisahanku
memang kusimpan sendirian. Tidak mau membuat mas Arian kepikiran. Cukuplah kamu
ketahui yang ini saja mas. selebihnya kamu tidak perlu tahu.”
Aku
terdiam. Hanya dengan beberapa keadaan yang kuketahui saja, aku benar-benar
kalah. Kekalahan ini dapat dipastikan akan membuat kering seluruh air mata
sebab semua telah jatuh pada dasar hatiku yang sakit dalam merasakan semuanya.
Sejak SMA kebersamaan telah dilalui bersama. Mengerti satu sama lain dan
memutuskan untuk terus menunggu. Kali ini penantian itu hanya butuh waktu sebentar
saja. Tahun depan kelulusanku akan tiba.
Tahun depan, aku akan pulang dan mematahkan anggapan orang-orang di kampung
sana yang mengucilkan Nabila. Bahkan tahun depan, aku sudah berjanji akan
menjadikan tahun depan sebagai tahun pernikahan kami jikalau Nabila memang mau menyegerakannya.
Usiamu barangkali 26 bil, sementara usiaku 28 tahun. Bukan sesuatu yang buruk
andai saja komunikasi kita begitu baik dalam meyakinkan satu sama lain. Tapi
aku benar-benar sudah kalah dalam peperangan sekarang dan kekalahan tidak bisa
membuatku berbuat apapun lagi selain menerimanya.
Tengah
malam. Telpon telah ditutup dan lamunan tidak kunjung berhenti mengiatari
seluruh pikiranku. Begitu sadisnya cerita yang musti kualami. seolah cinta
tidak hanya butuh kasih sayang di dalamnya, seolah tidak hanya butuh saling
mengerti, atau menerima dengan tulus, namun jauh lebih dari itu, membutuhkan rasa
sabar. Kesabaran adalah satu-satunya hal
yang diperlukan untuk membuat cinta itu tetap bertahan. Kesabaran adalah bukti
bahwa seseorang benar-benar mencintai dengan sungguh. Sayangnya Nabila tidak
mau bersabar sedikit saja. Lebih memilih pergi meninggalkan. Mendengar
perkataan orang lain.
Sudahlah.
Malam itu sangat panjang.
Kututup
malam dengan air mata batin yang membuatku terus mematungkan diri, berteriak dalam
hati. Hidup harus ditata ulang. Kurasa hidup akan saling bertarung dengan
impian dan bayang-bayang. Aku tahu pasti semuanya akan selesai, impian itu akan
segera digenggam. Hanya saja bayang-bayang itu tidaklah mungkin pergi. Dialah
yang akan terus menemani. Aku mungkin harus
bersiap-siap ikut menemani seluruh ingatan tentang Nabila yang pernah baik
padaku.
Komentar
Posting Komentar