“Alhamdulillahirrabil
alaamiin”
Written
by Khoti Isnaeni
“Semua
hal patut disyukuri termasuk hal yang sebelumnya kita anggap sebagai keburukan.”
-Khoti
Isnaeni
Tidak
ada yang salah, bagi mereka yang percaya bahwa memendam cinta itu lebih baik
daripada mengungkapkan, hanya demi untuk menjaga nama perasaan. Pun, tidak ada yang salah,
bagi mereka yang percaya bahwa mengungkapkannya adalah jalan terbaik untuk
dilakukan, supaya kita pun tahu persis, apakah seseorang itu mau diperjuangkan
atau tidak. Namun bagaimana jika dua orang dihadapkan dengan masalah : yang satu
memendam perasaan lalu satu orangnya lagi hanya bisa berusaha memancing
perasaan saja. Hingga pada akhirnya, tidak ada satupun yang merasa percaya
bahwa keduanya akan bersama meski nyatanya harapan itu telah tumbuh diantara keduanya.
Kini
kisah ini ditulis sebagai suatu pemahaman baru, untuk mereka yang sudah
terlanjur percaya, mau mencintai dengan cara apapun, ketetapan Tuhanlah yang
harus kita pegang erat-erat.
Namaku
Narnia Afgani. Aku berusia 24 tahun dan sedang bekerja di sebuah penerbitan
buku di wilayah Kedaton, Bandar Lampung. Saat ini aku sedang merebahkan badan
di atas kasur sambil melihat notifikasi di handphone dan melakukan hal yang
sama ketika membuka instagram maupun facebook, yaitu melihat postingan terbaru
dari seseorang bernama Reino Syahputra dan dilakukan hampir sepanjang hari.
Aku
ingin tertawa terhadap diriku sendiri yang sudah bertahun-tahun selalu menunggu
dia datang. Sebab meskipun sekarang kita sudah resmi putus beberapa tahun lalu,
aku masih keras kepala mempercayainya, mempercayainya akan tiba dan menepati
janji untuk menikahiku. Ya, meskipun bagiku rasanya tetaplah mustahil dia akan
menepatinya. Makanya kenapa aku tidak
pernah mengungkapkan perihal perasaan ku yang masih berharap ini padanya. Sama sekali tidak pernah meskipun sering juga
dia menghubungiku. Karena yah bagiku,
tidak ada cara lain untuk menjaga perasaan sendiri kecuali dengan menyerahkan
semua ini padaNya.
Tepat
jam 4 sore ini, aku juga harus mendatangi sekolah SMA Nusantara untuk
mengajarkan tari. Namun sebelum keberangkatan menuju kesana. Aku menerima
sebuah chat WhatsApp singkat dari Reino yang cukup mengejutkan. Langsung
kulihat notifikasi tersebut dan membaca pesannya.
“Assalamualaikum Nia,
sore ini bisa ketemuan gak?”
Setelah
membaca pesan, aku langsung saja membalasnya.
“Jam berapa? Kemungkinan
saya free jam 5 sore karena saya mau mengajar dulu di SMA.”
Bagiku,
membalas pesan Reino adalah suatu tantangan terberat karena mau bagaimanapun
aku harus bersikap layaknya orang lain, bukan lagi sebagai pacar. Maka kehati-hatianku
dalam membalas pesan memang selalu kujaga agar diapun paham bahwa aku tidak
lagi mengharapkannya.
“Ooh, temanin saya buka
puasa jam 5 sore nanti.”
Ketika
dia membalas pesan seperti ini, maka aku berfikir kaget tapi juga, aah mungkin
ini hanya sebuah ajakan sebagai tanda pertemanan. Karena jujur, mengenal Reino
yang aktive dan gaul memang berkemungkinan besar menjadi tanda bahwa dia bisa friendly pada siapa saja, sekalipun itu
denganku, orang di masa lalunya.
Maka
demi menunjukan rasa profesionalitas yang tinggi, aku menyanggupi permintaan
Reino. Bagiku, sekali dia sudah bisa menganggapku temannya lagi, maka aku pun
harus bisa menganggapnya demikian.
“Baik Ren, kalau memang
mau mengajak langsung jemput saja di sekolah SMA Nusantara.”
Setelah
pesan itu terkirim, ingin rasanya aku bersorak hore hore karena akan bertemu
Reino. Aku senang dengan pertemuan kita ini lantaran kami sudah bertahun-tahun
tidak pernah melakukannya. Namun
kesenangan ku ini tidak akan mengurangi caraku dalam menyikapinya nanti, yaitu
menyikapi layaknya teman biasa, bukan sebagai orang yang selalu kurindukan.
Saat
mengajar tari, seperti biasa aku akan memperagakannya terlebih dahulu dan
meminta anak-anak untuk mengikuti. Namun bedanya, hari ini aku merasa ingin
cepat berakhir sehingga aku terus-terusan melihat jam di layar handphoneku. Sampai
akhirnya, semua anak-anak yang berlatih meminta untuk pulang segera karena sore
ini terlihat akan hujan. Langsung kututup pembelajaran tarinya dan memutuskan
untuk menghubungi Reino.
“Ren, saya sudah
selesai mengajarnya, kalau bisa jemput saja sekarang keburu hujan.”
Kukirim
pesan singkat tersebut sambil menunggu di depan teras perpustakaan sekolah.
Sampai akhirnya Reino membalas iya.
10
menit kemudian Reino datang membawa motornya tepat di depan perpus tempat aku
berdiri. Saat itu yang ingin kulakukan adalah aku ingin memberi senyum pada
Reino namun kendati hal ini akan memberikan kesan lebih, atau mungkin kesan
yang bisa membuatku seolah-olah senang bertemu dengannya, maka aku urungkan
senyum itu dan memilih terdiam.
“Hei
Niw, udah lama nunggunya?” sapa Reino kemudian padaku. Aku teringat akan
panggilan Niw yang dia tujukan padaku,
itu adalah panggilan ketika dulu kita
sering bersama.
Tak
lama dari sapaan kecil itu, terjadi banyak sekali percakapan di atas motor.
“Eh
Nia, kamu kerja apa aja sekarang?”
“Selain
menjadi pengajar tari di SMA, aku juga kerja di penerbitan buku sebagai editor
Ren.”
“Wah
keren yah Niw, aku masih fokus menjalankan bisnis cafeku, alhamdulillah rejeki semakin
mudah didapat, aku sudah bisa membeli rumah baru untuk dihuni nanti.”
Disaat
Reino mengucapkan hal itu, aku hanya terdiam. Entah bagaimana rasanya menjadi
aku, melihat Reino yang sudah sangat sukses memiliki cafe mewah dan melihatku
sebagai orang yang biasa saja, yang makan ke cafe pun seringkali tak mampu.
Mungkin ini juga menjadi salah satu alasan kenapa aku tidak mau mendekati
Reino, terlalu mudah bagi dia sekarang untuk membuang orang sepertiku, yang
hanya perempuan biasa. Maka aku memutuskan untuk tidak perlu menganggap lebih
apapun perlakuan Reino padaku. Yah semua itu lantaran aku sangat yakin, dia
sudah menemukan kepercayaan dirinya kembali dan ajakan ini pasti hanya sebuah
ajakan sebagai tanda menyambung kembali keakraban.
“Kita
mau makan kemana yah?” ku sapa dia sebagai tanda basa basiku.
“Ehm,
dimana yah, yah di sekitar UBL kayaknya.” Jawab Reino.
Aku
terdiam lagi sambil melanjutkan lamunan sampai beberapa saat kemudian hujan
lebat pun turun. Reino tidak berbelok,
dia bahkan tetap melajukan motornya lebih kencang lagi dan membiarkan kita
berdua terkena air hujan. Sampai akhirnya ku tepuk bahu Reino keras.
“Hey,
Ren! kamu gak mau neduh dulu.” Bentakku padanya.
“Gak
perlu Niw, aku mau kita tetap melaju terus meski ada hujan yang menghadang.”
Aku
terdiam lagi, entah apa yang dikatakan Reino saat itu, sesungguhnya aku tidak
cukup mendengarnya.
Kita
lalu sampai pada sebuah tempat makan yang menjual ayam geprek, dengan baju yang basah dan sepatu yang basah.
Tak ada yang kupermasalahkan, yang aku fikir
kemudian hanyalah, ayam geprek tempat kita makan mungkin adalah tempat makan favoritnya Reino.
Ketika
memasuki tempat pemesanan, Reino langsung memesan ayam gepreknya sementara aku
memilih untuk langsung mencari tempat duduk.
Sampai akhirnya dia datang dan kita berdua duduk saling
berhadap-hadapan. Aku menunduk, di depan Reino aku tidak ingin terlalu sering
memandangnya, ini cara supaya aku dapat menjaga batas diantara kita
berdua. Mungkin memang aku terlihat cuek
namun sesungguhnya aku menikmati kok masa-masa berdua kita ini. Aku senang bisa
makan lagi dengannya dan aku senang bisa sesekali memandang wajah Reino ketika
dia tidak sadar.
“Kemarin-kemarin,
aku pernah ketemu sama kamu loh Niw, di jalanan sama di potokopian, dua kalian
lah.” Reino lalu membincangkan hal ini.
“Oh
yah? kenapa gak menyapa saya aja?” tanyaku.
“Yah
karena lagi di jalan aja, waktu itu juga temanku yang pertama kali ngliat.”
“Ooh.”
Kujawab dengan singkat.
Ketika
makananku masih setengah habis, Reino justru lengkap menghabiskan
semuanya. Aku lalu terburu-buru
menghabiskan makananku sambil mendengar Reino berbicara, sampai akhirnya aku
hanya menjawab iya dan iya untuk semua pernyataan yang dia keluarkan. Aku bahkan memainkan Handphoneku dan
sekali-kali memencetnya, padahal sebetulnya tidak ada pesan penting apapun yang
ingin kujawab.
Entah
kenapa, aku sepertinya berhasil sekali menutupi perasaanku, berhasil karena
semua tindakanku sudah sempurna menunjukan arti pertemanan sesungguhnya bukan
arti khusus dan special. Aku pun berfikir tidak ingin membuat Reino merasa
diharapkan sehingga cara ini tentu sangat pas.
Seusai
makan, kita berdua melanjutkan shalat di masjid yang tidak terlalu jauh, lalu
kita berdua melanjutkan berbagai percakapan di atas motor untuk menuju ke kontrakanku.
Setiap percakapan tentu mengalir di sini, namun aku lebih menepatkan diri
sebagai pendengar bahkan sesekali aku memotong cerita Reino hanya untuk memberi
tahu arah jalan menuju kontrakanku. Jadi kupikir yah baguslah, aku tidak akan
terlihat antusias di depannya.
Baru
setelah kita berbelok di gang terakhir menuju kontrakanku, dengan Reino yang
banyak bercerita, aku memintanya langsung
memberhentikan motornya.
“Eh
iya makasih yah udah ngajak makan gratis, hehe” Candaku setelah turun dari
motor.
“Iya
Niw, makasih juga udah mau nemenin.”
Reino
langsung berkelok dan meninggalkanku di depan kontrakan, begitupun aku. Aku sedikit
lebih cepat masuk dan membuka pintu kamar.
Saat
memasuki kamar dan berbaring di tempat tidur, hatiku lalu mengalami kerisauan
secara tiba-tiba. Kerisauan yang menurutku terlalu dalam untuk ku rasakan.
Terlalu aneh atau bahkan terlalu susah dijabarkan. Aku tidak tahu alasan mengapa Reino tiba-tiba
mengajak ku pergi. Aku tidak tahu mengapa dia membuka banyak sekali percakapan denganku.
Aku tidak tahu mengapa chat pertamanya adalah mengajak ku makan bersamanya.
Tapi yang pasti, yang selalu ku rasakan dalam memahaminya, dia mungkin hanya
ingin menghargaiku, sebab satu bulan kemarin aku baru saja diwisuda dan memang
sebelumnya dia sudah pernah katakan ingin makan bersama denganku. Hanya saja,
masih terasa aneh bagiku. Entah apanya yang aneh.
Aah
malam itu juga, kusimpan kontak WA Reino dan kunamai ‘Orang Asing.’ Aku mungkin boleh merasa senang dengan apa yang
Reino lakukan tapi aku juga harus selalu ingat bahwa, bagaimanapun seseorang
perempuan tidaklah boleh memberikan terlebih dahulu hatinya kepada laki-laki
apalagi dia yang lebih dahulu mengejar cinta laki-laki. Aku jadi ingat pada
perkataan seseorang. Jika wanita terlebih dahulu yang memberikan hatinya kepada
laki-laki, maka mungkin saja laki-laki itu akan menerimanya dan menyukai wanita
itu kembali tetapi hanya masalah waktu laki-laki itu bisa dengan mudah
meninggalkan sang perempuan dan mencampakannya. Untuk itu, aku selalu percaya
dan yakin, aku tak perlu mengejar cinta laki-laki manapun apalagi cinta Reino.
Biarpun aku selalu menunggu janjinya yang dulu, tapi tak patut bagiku
mengungkapkan perasaan terlebih dahulu padanya, apalagi aku tidak tahu pasti
perasaan Reino padaku. Dia yang sudah pasti banyak yang meminati tentu akan
lebih mudah memilih dan menyeleksi. Maka
sudah sewajarnya aku merasa tertolak sejak awal meski pada dasarnya ada jutaan
harap yang mengendap.
Aku
bukan mau sok jual mahal, sok tidak butuh pasangan hidup, akan tetapi ada hal
yang banyak berkecamuk di kepalaku. Ada banyak hal yang mungkin menjadikanku
begitu berat untuk membuka diri kepada Reino lagi, meski faktanya, sepertinya
aku akan menerimanya kembali menjadi kekasihku dengan mudah, hanya saja dengan satu
catatan, yaitu ketika dia berani mengungkapkan perasaanya secara langsung
padaku. karena itu artinya, dia telah menggunakan seluruh pemikiran dan kata
hatinya untuk menetapkan ku, sebagai satu-satunya pilihan terbaik bagi Reino.
Aku tahu, kembali menjalin hubungan bersama mantan adalah hal berat, kamu
ibarat membuang makanan di tong sampah, lalu kamu memakannya kembali ke dalam
mulutmu. Kalau bukan karena melalui penentuan keputusan yang panjang dan
mikir-mikir lagi, kamu pasti tidak akan mau melakukan itu. Tidak mungkin mau.
Makanya, harus dengan apa lagi aku menghadapi keadaan ini kalau bukan menyerahkannya
kepada Tuhan yang di atas. Menunggu jawaban apa yang mungkin maha pencipta
berikan padaku. hanya itu yang saat ini kubisa.
Keesokannya,
di siang hari saat bekerja, entah
bagaimana aku membuat sebuah status WA bertuliskan ‘orang yang betul sayang dengan kita tidak akan berani mendekat. Hal ini
diperumpamakan dengan seseorang yang menyukai dan menyayangi bunga mawar. Yang
menyukai mungkin akan langsung disentuh bunganya atau dipetik tapi bagi yang
menyayangi, akan membiarkan bunga itu tumbuh subur dan mekar dengan indah’ aku
merasa bahwa status ini pernah mewakili perasaanku kepada Reino, bagaimanapun
hal ini pernah menjadi alasan atas keputusan yang pernah kubuat, mengapa aku sanggup meninggalkannya, tak mau
mendekatinya, sebab aku takut Allah SWT tidak pernah Ridho dengan kami berdua..
Karena dulu aku selalu berfikir bahwa berpacaran adalah sebuah pintu terbukanya
dosa-dosa, terbukanya pintu kemaksiatan yang benar-benar akan membuat Allah SWT
cemburu. sehingga dengan satu hal ini saja, aku tak jarang khawatir bahwa Tuhan
akan murka pada kami berdua. Maka menjauhi Reino adalah sebuah keputusan yang bijaksana
bagiku, aku tidak ingin membuatnya berdosa karena harus bersamaku dan aku tidak
ingin Tuhan marah padaku.
Terkadang
aku biarkan hatiku memanas ketika melihat postingan Reino bersama perempuan
lain. Yang kadang-kadang hal itu berujung dengan menghubunginya lebih dulu.
Karena suka gak tahan menahan kecemburuan. Mungkin pada saat itu jiwaku masih
belum normal, masih sakit, sehingga
kadang aku tidak bisa mengendalikan rasa kecewaku. Hanya pada saat-saat itu saja hal ini lalu
terjadi.
Dan
pertemuan kemarin, yang mana aku langsung menerima ajakan Reino. Itu adalah
sebuah hal yang sebetulnya sedikit aku sesali. Bukan tak bahagia akan tetapi
tiap kali berhubungan dengan laki-laki manapun, aku hanya merasa tak berhasil
menjaga diri. Aku merasa sama saja dengan perempuan lainnya, yang mudah
terperangkap oleh ajakan laki-laki. Yah kadang-kadang bisa sekacau itu
pemikiranku. Pemikiran seseorang yang masih jauh dari kata benar tapi ingin sok
benar.
Kubaca
lagi status yang baru saja kubuat dan juga membuka viewernya, saat itu aku lalu merasa terkaget. Rupanya Reino yang
kuberi nama ‘Orang Asing’ dapat
melihat statusku saat itu juga. Itu berarti
dia sudah terlebih dulu menyimpan kontak WhatsApp ku.
Aaah,
Aku merasa ketakutan bercampur kesenangan. Tapi lebih banyak takutnya. Aku
takut kita lebih intens berhubungan dan aku takut dengan mudah dia tahu apa
saja yang kulakukan. Sempat untuk menghapus kembali kontaknya tersebut tapi
dorongan untuk bertindak secara profesional akhirnya kulakukan. Yaitu
sebagaimana layaknya teman, aku tidak
mungkin perlu menjauhinya.
Berbagai
anggapan dan pemikiran sudah kutampung, akupun memutuskan untuk tidak akan
membalas apapun yang dia jadikan status. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan kembali niatku menjauhinya, aku tidak ingin terjadi hal yang
bukan-bukan, atau bahkan terjadi sesuatu yang mengarah pada gombal-menggombal.
Sampai
akhirnya di hari minggu, aku pergi ke Lembah Hijau untuk berlibur dan beberapa
kali memposting foto yang sendirian. Aku
pun merasa terkejut ketika mendapati ada WA dari Reino. Disitu tertulis.
“Ini dimana?”
yah langsung aja kubalas, “di LH”
yang mana LH itu akronim dari Lembah Hijau. Memang tidak ada orang yang
menyebut Lembah Hijau itu LH tetapi itu nama iseng yang sengaja kuberikan.
Sampai
akhirnya Reino memberikan balasan lagi, “LH
itu apa?”
“Lembah Hijau, masa
gitu aja gak tau.”
Reino
hanya membalas tawa, lalu beberapa saat kemudian muncul notif lain darinya. “Sama siapa kesana?” Yang setelah
kubaca, aku pun terkaget-kaget Masya Allah. Ya, maksudku apa urusan dia
menanyakan itu. Apa dia mau membuatku GR setengah pingsan. Itu seperti
menandakan bahwa dia kepo berat dengan orang yang pergi denganku, apalagi ini
di hari minggu. Aah ditanya-tanya
seperti itu oleh Reino justru membuat
aku jadi mengait-ngaitkan, apakah dia betul mengharapkanku atau sekedar ingin
bertanya. Tapi yang pasti apapun maksud dia, aku haruslah tetap berusaha,
dengan kuat, dengan yakin, dengan menyebut nama Allah untuk tidak terpancing oleh
apapun.
Maka
ketahuilah saat itu aku lalu menimbang-nimbang langsung apakah perlu aku blokir
kontaknya atau bagaimana. Namun aku tetap ingin berusaha profesional
membuktikan bahwa aku bisa menjadikan dia layaknya teman dekat. Namun kamu
mungkin tak akan selamanya berfikir seperti ini, jika Reino saja terlihat
seperti memancingku, lantas aku berfikiran, bahwa ini menjadi bagian dari langkah
dia untuk menujuku.
Apa
yang aku fikirkan kemudian, menurutku aku
tidak seharusnya menjauhinya atau bahkan cuek bebek ke Reino. Maka saat
itu bisa dibayangkan, saat itu aku langsung memutuskan untuk memberi lampu
hijau kepada Reino, jika benar dia menginginkanku, maka akan selalu kunyalakan
lampu itu untuknya, kapanpun dia membutuhkan keyakinan, aku akan datang sebagai
Nia yang memberikan dia keyakinan. Siap melangkah bersama kapanpun dia siap
mengajak. Aku menunggumu Reino, bahkan jika kamu tak pernah mendatangiku.
Hampir
saja aku strees memikirkan ini, hingga pada akhirnya aku berfikir untuk pasrah
akan hal-hal yang mungkin terjadi di depan nanti. Urusan ini benar-benar diluar batas ku dan Reino,
apa yang kuinginkan atau apa yang Reino harapkan, bagaimanapun tidak akan sama
dengan apa yang Allah tetapkan, aku lalu di titik pasrah.
Hari
berganti hari, sudah lama seklai Reino tidak membicarakan hal-hal yang sudah
kutunggu-tunggu. Hati perempuan mana yang tidak ingin dirinya diperjuangkan.
Maka kemudian aku pun seringkali ada di titik itu. lalu berpindah ke titik
menunggu Reino. lalu pindah lagi di titik pasrah. Hingga aku tidak tahu ada di
titik mana tapi yang aku tahu, aku masih saja terjatuh pada bayang-bayang Reino
meski kenyataannya ada yang jauh lebih realistis untuk diyakini. Kita tidak
pernah saling menumbuhkan cinta maka untuk apa merasa kehilangan.
Saat
ini, saat sedang di kamar, aku lalu bermunajat kepada Allah dan meminta sesuatu
padanya, aku berharapan lain, “Kalau Reino bukan yang terbaik maka segerakanlah
dia menjauh dariku ya Allah. Aku sungguh tidak bisa terus-menerus ada di jalan
seperti ini. jalan yang penuh drama dan tidak penuh kepastian. berikanlah aku
petunjukMu ya Rab, berikanlah aku jawabanMu” Itu adalah permintaanku yang pada
akhirnya benar-benar kutumpahkan di malam aku bermunajat. Aku yang sudah tidak
berkeinginan pacaran namun tetap dibaluti masa lalu, seringkali merasa terancam
hidupnya. Seringkali tidak tahu harus bagaimana. Mungkin akan menjadi lebih
baik kalau memang jelas Reino tidak mau padaku, maka tidak mungkin aku akan mau
padanya. Namun kasus ini seringkali membuatku terpancing, dengan Reino yang
terlihat mendekatiku tanpa ada suatu ajakan yang pasti. Maka wanita mana yang
mau berfikir, bahwa dia akan serius datang tapi wanita mana yang pada akhirnya
tidak baper meski berkali-kali sadar dirinya hanya didekati bukan diminati.
Aku
lelah tetapi sungguh aku tidak mau berfikir tentang hal itu lagi. Usiaku sudah cukup
matang dan beberapa pekerjaan sudah kujalani. Kalaulah Reino mau padaku, pasti
dia akan meminta untuk datang ke rumah.
Tetapi
sebelum aku membuka hati pada yang lain, dengan menyebut nama Allah aku pada
akhirnya membuat sebuah keputusan, keputusanku adalah, sampai satu bulan ke
depan aku akan tetap menunggunya, hanya satu bulan dan hanya sampai tanggal 1
Oktober saja, maka masa tungguku akan segera ku akhiri.
Hingga
akhirnya benar, satu bulan telah berlalu, aku tidak mendapat suatu chatan
apapun dari Reino. Hal yang kuterima
adalah, dia justru membuat sebuah status bertuliskan. ‘Main ke rumah calon.’ Yang secara langsung membuatku sedikit gusar
membayangkan, calon apakah yang dia maksud? Apakah itu calon istri maksudnya?
Aku tak tahu tetapi akupun terdorong ingin menanyakannya secara langsung.
Kucoba
iseng membalas postinga tersebut, “cie
calon apa nih?” yang bertujuan untuk memancing. Lalu Reino membalas.
“Calon
istri Niw,”
Deeeg,
badanku langsung melemah seketika membacanya. Tak disangka ternyata Reino sudah
memiliki pasangan baru. Ku pikir hal itu tidaklah akan terjadi di waktu
sekarang atau kalaupun terjadi, lalu dengan siapa dia berpasangan.
Dengan
menyebut nama Allah lagi, aku menanyakan hal mendasar dan langsung to the point
pada Reino.
“Ren, kapan kamu akan
melamarnya dan kapan kamu akan menikahinya?”
Sembari
meneteskan air mata akupun turut merasakan senang karena hal ini berarti, aku
telah sampai pada pemberentian kereta harapan yang terakhir. Tidak akan ada lagi kereta harapan yang mungkin
akan dilanjutkan.
“Kemungkinan masih
bulan-bulan depan Niw, belum tahu pasti.” Balasnya lagi.
Saat
ini aku jadi merasa bahwa aku benar-benar menjadi teman Reino, yang tidak perlu
lagi melakukan kebohongan. Aku akan menjadi teman dia selamanya namun dengan
mengucap takbeer, Allah hu Akbar, aku ingin mengatakan ini untuk terakhir
kalinya. Pernyataan yang mungkin akan melegakanku.
“You should marry
soon Ren and I will stop waiting.”
Entah
bagaimana kalimat itu lalu kutulis dan kukirim. Mungkin aku pikir, hanya di
hari ini aku bisa menunjukannya, menunjukan kalau aku tetap menunggunya meski
dia tak pernah mengetahui hal itu.
“Are you still waiting
until now?” Reino lalu mengirim balasan.
“Yes, I am.”
Dengan mata berkaca kukirimkan kalimat jawaban ini padanya. Akupun meneteskan air mata. Tetesan yang
kupikir sangatlah terlambat.
“Aku minta maaf banget
yah Nia,”
Balasan
pun langsung ku terima.
“Tidak kumaafkan Ren.” Kutulis bersamaan dengan emot tawaku. Aku
pikir aku hanya mengatakan ini untuk sekedar bercanda ke Reino tidak betulan, meski
tentu saja memang sulit memafkan dia. Tetapi dari sini Reino lalu menjelaskan
banyak hal.
“Inget waktu aku mengajak
kamu makan saat kamu ngajar di sekolah, saat itu aku coba memastikan kamu
gimana keadaanya, dan setelah pertemuan itu yah saya anggap kamu sudah
baik-baik saja dan yah memang sudah tidak ada yang diharapkan”
“Iya, aku memang
terlalu menyimpan rapat-rapat semuanya.”
Ada
begitu banyak balas-balasan pesan, hingga akhirnya akupun sibuk mengetik dan
membalas.
“Kenapa begitu? Atau
memang kebanyakan wanita lebih suka memendam daripada memberikan celah buat
orang yang bisa membaca perasaanya.”
“Karena wanita mampu
menunggu sampai ribuan tahun Ren, itulah yang kulakukan.”
“Yang kubaca darimu
saat pertemuan kemarin, kamu sudah tidak mau lagi pada saya Nia. Kamu masih
ingat ketika kamu bertanya mengapa saya tidak meneduh ketika hujan. saya
jawab ‘gak perlu Niw, saya mau kita
tetap melaju terus meski ada hujan yang menghadang.’ Saat itu saya berharap
kamu mengerti apa yang saya maksud dan memberikan tanggapan yang memuaskan.
Namun kenyataannya lain, ketika makan, aku lihat kamu sangat biasa saja dan
jarang menanggapiku. Kamu hanya menjawab iya dan iya. Kamu ingat itu? Jadi aku
berfikiran kamu telah mengubur semuanya Nia”
“Iya aku ingat semuanya
Ren, tapi coba yah aku beri penjelasan kenapa aku tidak begitu menanggapimu.
Jadi semua itu kulakukan karena
pertemuan itu kuanggap hanya pertemuan keakraban. Lagipula kamu sama sekali tak
ada kejelasan, jika kamu berniat serius menginginkanku pastinya kamu akan to
the point ‘Niw mau tidak menikah denganku?’ aku menunggu kamu membericarakan
hal serius itu. karena tanpa ada hal jelas seperti itu maka tak mungkin bagiku
akan mudah memberi celah pada orang lain. Itu sama halnya memberikan harapan.
Kenapa hal itu dilakukan, karena seseorang jika menginginkan jawaban yang pasti
maka dia harus menanyakan sesuatu yang pasti. Bukankah kamu tidak melakukan hal
itu sama sekali Ren padaku. Maka bagaimana mungkin aku akan berfikir bahwa kamu
adalah sesuatu yang pasti dan bagaimana bisa aku
akan memeberikan tanggapan yang memuaskan
menurutmu”
Beberapa
saat kemudian aku langsung menangis mengetik pesan sepanjang itu. Aku yang
selalu menyimpan rapat semuanya dan dia yang selalu mencoba memancing saja
tanpa memberikan sesuatu yang jelas padaku, diaduk dengan sikapku yang pandai
menutup rasa. Maka mungkin wajar jika kita semua berfikir tidak bisa bersama.
kita terlalu naif untuk menyatakan hal terbesar di dalam hati.
Pesan
pun dilanjut dengan penjelasan dari Reino.
“Lagi pula sekarang
keadaanya jauh semakin buruk Nia tidak seperti tahun-tahun kemarin ketika kita
jalan masing-masing. Sekarang keadaan memaksaku untuk mengambil jalan pintas.
Satu bulan yang lalu ibuku mengenalkanku dengan seorang perempuan, dia tidak
lain adalah anak dari sahabat ibuku. Dia terus berharap kalau aku bisa
bersamanya dan menikahinya. karena
perempuan itu memang baik dan sesuai dengan
yang ibuku harapkan. Aku sebetulnya tidak mau Nia dan
aku berfikiran untuk menolak tapi aku
lalu dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima saja hal ini karena kemauan
ibuku cukup kuat, maka aku coba membuka hati sedikit dan mencoba mengenali
perempuan itu lebih jauh.”
Membaca
cerita Reino aku mendadak menangis, aku bukan menangis karena kehilangannya,
lebih tepatnya ini adalah sebuah tangisan terharu. Pun, aku juga merasakan ada
sebuah kelegaan yang kuterima dalam melihat kenyataan ini. Entah apa itu, yang
jelas aku semakin yakin akan ketetapan
Tuhan. Aku juga mengingat akan masa lalu kami berdua, itu adalah hal yang
memang cukup menyakitkan, dimana pada saat aku dan Reino putus, semua itu
terjadi karena orang tuaku tidak
mengizinkan aku berpacaran dengan siapapun selama menempuh pendidikan. Hal itu
dicampur dengan sikap Reino yang berubah padaku, sikap dia yang selalu berusaha
menunjukan pada semua orang bahwa dia bisa mendapatkan pengganti yang lebih
baik dariku. Yang tentu saja kupikir, dia sangat bisa melakukannya. Maka sejak
saat itulah aku pasrah akan semuanya, meski sejujurnya hal itu sedikit sulit.
Ada
suatu balasan panjang lagi yang kuterima dari Reino. jika kamu ingin
membacanya, ini adalah konfirmasi paling masuk akal yang kuterima.
“Maha besar Allah Nia,
aku sudah sejak dulu berdo’a meminta diberikan jodoh yang terbaik, yang mungkin
bisa menyayangi ibuku, ayahku dan aku. Untuk itu kedatangan perempuan itu
sangatlah pas dengan apa yang kuminta karena dia juga adalah apa yang ibuku
harapkan. Aku selalu berfikir bahwa dalam sebuah pernikahan yang akan kubangun,
aku hanya membutuhkan ridho Allah yang mana Ridho tersebut pasti terdapat pada
Ridho orang tuaku. Maka dengan ini aku lalu yakin Nia, mungkin ini adalah
ketetapan yang di atas. Sebetulnya aku juga berniatan akan menikahimu Nia
sesuai dengan apa yang kujanjikan dulu, akan tetapi ada begitu banyak sekali
faktor yang harus kita lawan. Seperti restu orang tuamu, bukankah itu sangat
sulit untuk didapat mengingat dulupun mereka pernah melarang keras kita
bersama.”
Aku
lalu tersenyum tipis membacanya, bukan senyum dalam artian meledek.
“Dan maha besar Allah
SWT juga yah Ren, aku dari dulu berdo’a
semoga kalau bukan kamu yang terbaik, maka Allah menjauhkanmu sesegera mungkin
dariku. Tolong jauhkan dengan cara apapun kalau memang kamu buruk untukku. Dan sekarang do’aku itu baru saja terkabul.
Maha besar Allah SWT dengan segala firmanNya..”
Kukirim
kembali pesan itu ke Reino dan tersenyum tipis lagi. sungguh ada-ada saja cara
Allah memisahkan hambanya. Sungguh ada-ada saja cara Allah memberikan jalan
atau menunjukan jalan bahwa kalau memang bukan dia yang terbaik untukmu, maka
dengan cara Allah SWT maka kita dipisahkan. Bukan dia yang terbaik atau bukan
dia yang akan menjadi jodohmu. Duh aku menjadi semakin yakin akan ketetapan
Tuhan. Reino tidak yakin akan restu kedua orang tuaku sementara seminggu yang
lalu mereka, orang tuaku pernah memintaku untuk bersama Reino. Dan kini, Ia
justru beranggapan tak ada restu baginya. Rencana Allah sungguh luar biasa.
Aku
merebahkan badanku pada kasur biru, ku pegangi kepalaku sambil memijatnya. Ada
lega, ada kecewa walau kadarnya sedikit, namun aku juga selalu mengingat, bahwa
dengan cara apapun kita mencintai seseorang, kita benar-benar harus berpegangan
erat-erat dengan ketetapanNya. Hal ini cukup menyenangkan untuk kuingat selalu,
karena selama masa tungguku, aku sudah bisa mempasrahkan diriku. Mempasrahkan
bahwa apapun jawaban yang Allah berikan pasti itu yang terbaik.
Aku
Sudah sangat berpegangan dengan
ketentuan Allah hingga yang terjadi adalah justru hal yang melegakan bukan menyakitkan.
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Umar bin Khattab, “Hatiku tenang mengetahui bahwa apa yang telah melewatkan tidak akan
pernah menjadi takdirku. Dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah
melewatkanku.” Maka sudah jelas, bahwa Reino memang bukan takdirku. Dan
akupun bukan takdirnya. Karena bukan
hanya Reino yang telah melewatkanku namun akupun telah melewatkannya. Kami
berdua telah sama-sama saling melewatkan. Dan kelak aku yakin, akan tiba
masanya sesuatu yang akan menjadi takdirku pun siap untuk tiba. Tiba sebagai
sosok terbaik dalam kehidupanku dan tidak akan melewatkanku. Aku yakin itu.
yakin sekali.
Dengan
menyebut nama Allah dan dengan mengucap takbeer ‘Allah hu Akbar’ ku tarik
selimutku dan meminta badanku untuk segera tertidur dari berbagai pikiran yang
ada. Meminta keberuntungan pada hari esok dengan selalu berfikir hal yang
baik-baik.
2
bulan telah kulalui setelah kejadian itu, aku masih kerja bersama team editor
di sebuah penerbitan buku. Di sana, karena memang semua teman-temannya begitu
asik, pada akhirnya bisa membuatku merasa lebih bahagia. Di tambah banyak
agenda di luar jam kerja yang aku ikuti, terkhusus agenda soal kuliah
memantaskan diri yang disarankan oleh teman-teman di kantor. Akhirnya membuatku
lebih mantap mempersiapkan diri menjadi Nia yang baru. Nia yang lebih baik di
masa depan.
Ya,
hal itu hanya terjadi dalam 2 bulan, sebelum pada akhirnya teman-teman sekantor
meledekiku dengan pak Andrian, CEO penerbitan ini.
Sudah
kubilang sejak awal, aku sangat susah mengungkapkan perasaan. Maka lihatlah
bagaimana semua teman-teman membuatku dan membuat pak Andrian malu karena dibujuk
supaya bisa dekat dan mengenal satu sama lain. Sampai-sampai banyak dari teman
yang menjadi mak comblang.
“eeh,
pak Adrian, udah sama Nia aja loh, dia kan single dan siap menikah, cocok
banget dengan pak Andrian yang juga single ihh.” Salah satu temen kantor
akhirnya nyeletuk saat kami semua
usai melakukan rapat.
Kalau
saja saat itu aku bisa injak kaki temanku yang sudah penuh keterbukaan dengan
pak Andrian, tapi sayangnya aku tidak jadi menginjak, karena bagaimanapun aku
pada akhirnya sangat-sangat bersyukur. Akibat teman-teman sudah meledekiku
dengan pak Andrian. Hihihi. Kok bisa bersyukur Niw, emang ada apa?
Bersyukur
karena 6 bulan kemudian setelah hal itu terjadi. Pak Andrian dan aku akhirnya resmi
menginjak pelaminan dan duduk berdua sebagai suami dan istri.
Pada
akhirnya, Aku memang tidak tahu kan bagaimana Allah mengatur kehidupan. Aku
tidak tahu pasti kan apa yang dirahasiakan oleh Allah. Tapi Tugasku hanya meyakini bahwa Dialah pembuat skenario
terbaik hambanya.
Aku
memang sempat sedih karena Reino tak bersamaku, tetapi itu tidak berlangsung
lama. Drama cinta-cintaan itu telah selesai. Aku berhasil mengobati semuanya
hanya dengan meyakinkan diriku bahwa pasti ada sesuatu yang memang sedang
menantiku di depan sana selepas penantian lama yang kulakukan ke Reino. dan
kali ini firasatku benar.
pak Andrian CEO penerbit buku tempat dimana aku bekerja,
akhirnya mengirim pesan begini, “Assalamualaikum Nia, maaf menganggu
malam-malam Nia, pak Andrian ingin bicara serius sekali. Ini niatan yang sudah
saya fikirkan matang-matang, boleh tidak kalau pak Andrian mengenal Nia dan
Keluarga Nia lebih jauh lagi. Ada keinginan di hati pak Andrian untuk
menjadikan Nia sebagai Istri, tidak perlu berpacaran karena Insya Allah kita
sudah mengenal satu sama lain, kalau berkenan, kita langsung menuju tahap
Ta’aruf.”
Bukannya
dengan cepat membalas pesan pak Andrian kala itu, aku justru malah menangis
terseduh-seduh, misek-misek. Gimana gak terseduh-seduh yah, coba deh kamu
bayangin, pak Andrian seorang CEO tempat aku bekerja dan yang bikin aku
tercenung bukan main, rupanya latar belakang pak Andrian adalah seorang Hafidz
Qur’an. Rasanya kayak mendapatkan dunia dan akhirat kalau aku bersamanya. Itu
yang aku rasakan saat pertama kali Ta’aruf. Merinding bukan main.
Maha
besar Allah atas hal indah yang luar biasa ini, kini aku bukan hanya akan mengucap Takbeer
Allah hu Akbar dengan lantang dan kuat. Namun dengan penuh kesyukuran hatiku
pun gemetar mengucap kalimat Tahmid.
“Alhamdulillahirabbil
alamin.”
Semua
hal patut disyukuri termasuk hal yang sebelumnya kita anggap sebagai keburukan.
Komentar
Posting Komentar