JATUH CINTA VIRTUAL PART 4
KISAH CINTA KITA DI MASA LALU
Written by Khoti Isnaeni
Ana sedang berada di kamar.
Di tengah malam setelah shalat isya, Ia memberesi kamarnya serta memilah dan
memilih barang-barang yang akan dibawanya ke Bandar Lampung. Dia juga sudah
mengatur rencana. Ia akan tinggal bersama teman lamanya. Kebetulan temannya
tinggal sendiri di sebuah rumah dan membutuhkan seseorang untuk tinggal
bersama.
Ia akan memulai pekerjaan
barunya dengan bergabung di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris sebagaimana
dulu Ia berkuliah dan mengajar dalam bidang ini. Ia ingin mempelajari Bahasa
inggris lebih banyak. Mempelajari level-level dari paling bawah sampai teratas.
Dan targetnya kala itu adalah menguasai teknik pengajaran TOEFL atau IELTS.
Dibalik itu semua, orang tua
Ana sudah memberinya izin. Meski pada awalnya mereka sangat berberat hati
melepas Ana sendirian di kota besar tapi Ana akhirnya berhasil meyakinkan.
“yaudah kalau maunya balik
ke Bandar Lampung, kalau nanti kamu merasa di sana semakin susah, jangan
ragu-ragu minta bapakmu untuk transfer yah.” Pesan sang Ibu saat Ana
diperbolehkan pergi. Dalam hati, Ana sangat bahagia sekali karena kedua orang
tuanya tidak mengekang dirinya.
“Tapi Ana mau uang bulananya
50 juta per bulan Bu.” Dibalik kesenangan yang Ana rasakan, dia justru makin
bengek terhadap Ibunya. Ibu dan Bapaknya hanya bisa menggeleng.
“Ya udah nanti Ibu panggil
nenek moyang mu dulu buat nurunin duit segepok. Mau durhaka kamu minta duit
segitu” Ibunya agak keki sambil menyusungkan bibir ke atas. Ana hanya bisa
ketawa.
“hehehe yah becanda Bu,
yaudah 5 juta aja.” Jawab Ana tanpa dosa.
“Mau jadi setengah Fir’aun
kamu yah.” Sentak Ibunya.
Sang ibu pun mau buru-buru
mengambil sendal untuk dilemparkan di kepala Ana. Begitupun ayahnya ingin sekali
mengambil celurit untuk memenggal kepala Ana supaya nalurinya terpasang. Ana
sudah buru-buru lari dan kembali memasuki kamar sambil berteriak. “yaudah
yaudah berapa aja Ana terima uangnya....!!!”
Keesokan paginya. Ana sudah
siap berangkat. Dia kenakan ransel nya di belakang pundak lalu meletakan barang
lainnya di motor. Pagi itu juga, di depan teras rumah, Bapak dan Ibunya
mengantarkan Ana pergi. Kaka perempuan dan adiknya juga ikut nimbrung. Karena
anggotanya lengkap maka Ana merasa risih, agaknya Ana digiring kepergiannya
seolah akan pergi jauh dan lama. Ana langsung berpamitan kepada ke dua orang
tuanya, kaka perempuanya dan adiknya.
“Pak, Bu Ana langsung
berangkat pagi ini, izin pamit, do’akan cepet sukses, kaya raya, jadi komisaris
BUMN atau dapet jodoh anak pejabat.” Ucap Ana ngelawak. Ana lalu bersaliman
dengan kedua orang tuanya. Adik-adiknya hanya bisa cengengesan melepas Ana
pergi.
“kenapa kamu ketawa-ketawa,
seneng liat mbak mu pergi?” Ana menyoraki kedua adiknya yang nampak puas dengan
kepergian Ana. Mungkin karena mereka senang sudah terbebas dari nenek lampir
yang selalu memarahi mereka saat di rumah. Ibu Ana hanya bisa geleng-geleng.
“Yowes, hati-hati di sana. Ibu
do’akan kamu sukses. Tapi ingat, letakan dunia hanya di tanganmu jangan di hatimu.
Kamu musti jadi anak yang berbudi baik. Jangan tinggalkan shalat, puasa dan
zakat.” Pesan ibu Ana bak kerasukan mamah dede.
“Halah Bu kok zakat juga
toh.” Ana heran.
“Ya itu kata pak ustadz kalo
Ibu lagi pengajian. Ya udah ni uang dibawa buat kamu makan di sana.” Ibu Ana
lalu menyodorkan uang ratusan ribu. Mata Ana melihat nya dengan sangat jeli dan
sedikit heran.
“Berapa ini bu kok tipis
banget.” Ana lalu menghitungnya dan merasa sangat kaget sekauget-kaugetnya. “haaaaaaaa
500 ribu. Yang bener aja Bu?” Ana heuran,. Pasalnya uang segitu tidak akan
cukup untuk satu bulan.
“Bisnis bapak mu lagi belum
stabil, ini kan lagi sibuk renovasi pabrik juga, jadi yah dicukup-cukupinlah
uangnya.” Ucap ibunya kepada Ana. Belum juga memulai kehidupan baru, Ana sudah
dihadapkan dengan ujian pertamanya, yakni ujian kemiskinan. Dia merasa lemas
duluan. Dia langsung membayangkan kehidupannya yang sulit, pahit, penuh
penderitaan akan segera dimulai.
Setelah berpamitan dengan
seluruh keluarga Ana. Tibalah dia di kota tersebut, Bandar Lampung. Dia tinggal
bersama kawannya bernama Santi. Namun Ana memanggilnya mbak karena Santi
berusia 6 tahun di atas Ana. Berkat mbak Santi akhirnya Ana bisa mempunyai
tempat tinggal gratis. Dia hanya perlu membayar makan dan listrik sebagai gantinya
karena sudah menumpang. Mbak Santi sendiri adalah seorang pembisnis. Dia
memiliki 2 ruko besar konter handphone yang juga suplier barang atau aksesoris
handphone. Di awal perjuangannya ini, Ana sangat-sangat bersyukur. Sepertinya
Allah SWT membantu Ana menghadapi awal kehidupannya di kota tersebut melalui
mbak Santi yang banyak membantu Ana.
Malamnya Ana mencoba
mengkomunikasikan keberadaanya kepada Angga. Dia meminta Angga menelponnya.
Di dalam kamar, Ana lalu
beres-beres barangnya sambil menunggu Angga. Dia memasukan seluruh baju di
lemari, menata skincare di meja belajar dan meletakan buku juga. Beberapa saat
kemudian handphone nya pun berdering. Angga sudah menelpon.
“haaloooo.” Sahut Ana sambil
mengangkat.
“haaaiiiii. Passwordnya”
Jawab Angga.
“Luwak white coffe, enak dan
mantap.”
“hahahaha” Angga hanya
ketawa.
“Anggaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”
Ana kemudian menyebut nama Angga keras penuh kebahagiaan.
“eeehhh ada apa ini?” tanya
nya penasaran.
“Aku sudah di Bandar
Lampung, hehehe.”
“Owh udah di sini, dari
kapan?”
“Tadi pagi berangkatnya.”
“Terus kamu tinggal di
mana?”
“Tinggal di wilayah Labuhan
Dalam.”
“Itu mah wilayahku.”
“bukan, hehehe” Ana
berbohong. “Aku di Sukarame.”
“owwhh di sana.”
“Iya.....”
“Terus gimana, udah langsung
ada kerja?” Tanya Angga.
“Iya, aku akan mulai masuk
ke lembaga kursus Bahasa Inggris dulu. Mau mematenkan kemampuanku. Cailah. Baru
someday mungkin aku akan cari sekolah.” Jawab Ana.
“owwh ya ya. Terus bulan ini
gimana megang uang gak?” Tanya Angga sebegitu pedulinya kepada Ana.
“Megang kok. Bulan ini
cukuplah sampe nanti gajian.” Ana menyernyitkan dahinya. Pasalnya dia seperti
baru ingat kalau uang yang dikantonginnya sejumlah 500 ribu. Seketika itu pun
dia ingin teriak kepada Angga. “Angga aku miskin di sini, tolong beri aku uang
50 juta...!!!!!!” Tapi kalimat ini akan sangat bodoh untuk dilontarkan karena
tentu saja Ana harus menggunakan manner nya dalam bersosial. Kepada orang yang
baru saja dikenal terutama kenal virtual, meminta pertolongan apalagi meminta
uang itu adalah perbuatan oknum-oknum yang bisa jadi memiliki niat buruk yakni memanfaatkan.
Untuk itu Ana tidak akan pernah mau Angga melakukan apapun untuk Ana dan tidak
ingin meminta Angga melakukan apapun untuknya.
“Owwhh, kalo ada apa-apa
bilang aja ke kak Angga Na. Jangan sok-sok tegar.”
“hehehe” Ana hanya bisa
merenges. Ana sadar kalimat itu tak akan merubah prinsipnya.
Namun Ana berpikir sesuatu.
Ana seperti menyadari kalau Angga terlihat tulus ingin menolong. Ana juga
menyadari sepertinya Angga tulus ingin melindungi Ana. Hanya saja dia
bertanya-tanya, untuk apa dia melakukan itu? Karena Angga berniat menjadikan
Ana tambatan hatinya? Sepertinya ini bukan sesuatu yang bisa diputuskan dengan
cepat. Menurut Ana, Angga harusnya bertemu
terlebih dulu dengannya. Untuk memastikan apakah rasa sukanya itu nyata. Apakah
belas kasihnya itu nyata. Apakah pertemuan semakin memperkuat keyakinan mereka
bahwa mereka adalah dua insan yang saling bukan hanya satu yang paling.
Inilah yang kemudian Ana
cemaskan. Belum diadakan pertemuan apapun di antara mereka berdua tapi rasa
yang mereka munculkan sudah sangat berlebihan. Perhatian yang diberikan Angga
pun bisa sangat membuat Ana berpikiran kalau dirinya diistimewakan padahal di
sisi lain yah Ana sangat cemas. Cemas kalau kalau saat bertemu rupanya Ana
bukan perempuan tipe Angga. Atau Angga rupanya bukan tipe Ana. Apa kata orang
jaman sekarang, Ana takut dia tidak good looking untuk Angga.
Jujur saja, Ana memang
kurang percaya diri dengan wajahnya. Dia tidak melakukan perawatan apapun untuk
membuatnya lebih putih atau bersih.Kulitnya bahkan berwarna coklat. Jadi kalau
Ana mau mengukur kecantikannya dengan standar cantik orang Asia yang harus
berkulit putih, berbadan langsing dan bibir tipis. Semua itu tidak ada di diri
Ana.
Beberapa hal yang bisa Ana
andalkan dalam menggait hati seorang laki-laki bisa jadi adalah kepintarannya.
Ya, dia bisa menjual dirinya dalam segi kepintaran. Setidaknya ada beberapa
prestasi akademik yang dia raih dari jaman sekolah sampai dia kuliah. Mungkin
Ana juga berpikir, bahwa beberapa skill yang dia punya bisa sangat menjual.
Namun yang terpenting adalah
ketika banyak sekali perempuan di luaran sana menginginkan laki-laki tampan dan
mapan. Ana sudah tidak berpikir mengenai hal itu. Karena Ana adalah seorang
sapiosexual. Maka organ paling seksi dari seorang laki-laki menurutnya adalah
isi otaknya. Apakah otaknya sangat jenius, kreative, ataukah penuh dengan
mindset baik. Juga kepribadian di atas rata-rata yang tentunya jauh dari
skandal. Yah, jika Ana tidak bisa menemukan laki-laki seperti apa yang dia
harapkan, paling tidak Ia ingin bertemu yang sama dengan dirinya. Dan kalau
melihat kondisi Ana yang saat ini miskin lalu dipertemukan dengan laki-laki
yang dalam kondisi miskin juga. Ana tetap tidak akan ragu-ragu. Karena mental
kaya sudah ada di mindsetnya. Dalam benaknya ia meyakini susungguhnya, untuk
menjadi kaya adalah sesuatu yang mudah yakni dengan membangun mental kaya
terlebih dahulu.
Ana memperhatikan kamar
sekitar lalu membuka cendela kamarnya. Di sisi cendela itulah Ana berdiri dan
melihat langsung ke arah keluar. Ia menatap langit malam yang penuh dengan
bintang-bintang. Tempat yang kini Ia pijak sudah berbeda. Ini bukan rumahnya.
Ini bukan kampung halamannya dan Ia seorang diri dalam kesusahan yang nantinya
akan Ia hadapi. Hanya Angga yang bisa dibilang sangat dekat dengannya. Namun
jika someday Angga justru memilih pergi. Ana mungkin hanya bisa tersenyum
tipis. Dia pasti bisa menyadarkan dirinya segera bahwa sesungguhnya
kehidupannya mencari karir yang diinginkan jauh lebih keras dari sekedar
asmaranya.
“Ana, diam aja.” Ucap Angga
mengagetkan.
“eeh iya. Sorry-sorry tadi
lagi mikir sesuatu.” Ana langsung sadarkan diri.
“eehhmmm, mau cerita apa nih
malem ini?”
“cerita apa yah?” Ana
berpikir sejenak. “aku lebih pengen tahu kehidupan asmaramu di masa lalu
gimana. Boleh gak? Yah cerita-cerita aja aku gak anggap itu buruk.” Tegas Ana
kemudian.
“hhmmmm...” Angga berpikir.
“Apa geh yang kamu pengen tahu?”
“mantanmu ada berapa,
hughughug?” Ana bertanya sambil ketawa.
“Tunggu bentar,” Angga mulai
berhitung, “pas aku SMP ada 2 mantanku. Pas SMA ada 1. Terus pas kuliah ada 2.
Yah pas udah lulus sampe sekarang sih, ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam.”
“woowwwwwww, busyeetttt
banyak bingits” sahut Ana kageeuut gila.
“Iya, ya segitu.”
“itu berarti ada sebelas
dong??? Udah kayak team bola aja.”
“Hahaha iya betul sekali.”
“coba jelasin satu-satu
siapa mereka terus kenapa kamu bisa pacaran. Eh yang paling berkesan aja deh
menurutmu. Ceritain aja” Pinta Ana kepada Angga seperti sedang mengintrogasi.
Dalam hal ini Ana memang bener-bener super kepo.
“Nanti aku ceritain kamu nya
nanges.” Angga pun merespon seolah tahu bahwa Ana akan sangat cemburu. Maksud Angga,
dia pun ingin berusaha membercandai perasaan Ana.
“heeehh, nanges kenapa?” Ana
bicara dengan gaya sok kebingungan. Padahal dia tahu bahwa maksud Angga adalah
Ana bisa saja cemburu dengan hal manis yang terjadi antara Angga dan mantannya.
“Yah namanya juga cerita
mantan.” Ucap Angga kemudian.
“Tapi aku gak berhak
cemburu, kamu kan bukan siapa-siapaku. Yah kalo aku cemburu biar itu jadi
urusanku.” Jawab Ana sok tegar.
“hhmmmmm” Angga berdeham.
“Ada-ada aja kelakuan betina satu ini.”
“Ya, cepet cerita kalau
enggak aku kirimin tuyul nih!” Ana bicara agak ngegas.
“Aku rela kamu kirimin aku
tuyul daripada nanti harus lihat kamu cemburu.”
“iihhh ngeselin. Pede
bangeeeeeeettttttt” Ana agak keki.
“hahahha. Yah bener kan.”
Ucap Angga merasa yakin dan super pede.
“udah lah matiin aja
telponnya.” Ana pun akhirnya makin kesal.
“hahaha”
Dari kejauhan, Angga hanya
bisa tertawa terbahak-bahak. Menurutnya, kelakuan Ana sama sekali tidak
menunjukan profesionalitas. Dia mulai terbawa dengan emosi-emosi cinta dan rasa
ingin memiliki terhadap Angga. Angga pun bisa merasakan hal itu. Namun Angga
menganggap hal itu sangat lucu dan unik. Ana terlihat seperti anak kecil di
matanya. Polos dan tidak tahu apa-apa soal cinta. Dia terlihat seperti ingin
menutupi hatinya dengan rapih tapi ujung-ujungnya dia membukanya sedikit demi sedikit.
“Ya udah cepetan cerita....”
lanjut Ana lagi.
“Ya dulu tuh,” Angga mulai
serius bercerita. “ Jadi waktu SMP pernah pacaran sama anak guruku. Kebetulan
satu kelas gitu sih. Yah aku mau sama dia karena anaknya baik. Sampe sekarang
aku lihat anaknya gak pacaran-pacaran gitu. Termasuk mantanku yang terjagalah.
Soalnya dia lanjut sekolah di pesantren dan hapal Qur’an berapa juz gitu udahan”
“owwh gitu. Bisa tau gitu yah”
Ana merespon pelan, “kenapa gak kamu datengin aja orangnya terus kamu lamar?” Ana agak sensi.
“Tuhkan apa ku bilang nada
bicaramu mulai lain.”
“lain gimana sih, perasaan
biasa aja loh.” Ana sok bingung. Padahal aslinya Ana memang terkesima dengan
mantan Angga dan merasa sangat cemburu.
“Yah aku gak bisa lamar dia
karena dia teralu masya Allah untuk aku yang astaghfirullah.”
“hhhhmmmm..... jawaban yang
masuk akal.”
“Sekarang puas?” Angga agak
lega tidak jadi mendengar amarah Ana lagi.
“Puass buaanggeeeetttt.
Terus yang lainnya gimana?” Jawab Ana bahagia masya Allah SWT.
“Dulu waktu kuliah entah
kenapa pernah pacaran sama kawan yang gak make jilbab gitu. Dia kayak make
jilbab gitu kalo keluar tapi pas ketemu aku dia berani gak make jilbab. Dilepas.
Yah untung dulu jadi orang sibuk, jadi ketemunya jarang-jarang.”
“owwhh begitu. Jadi dia
terlalu astaghfirullah untuk kamu yang masya Allah gitu yah?” Ana mencoba
menyimpulkan dengan gaya bengeknya.
“ya gak juga sih, hahaha.”
Angga hanya bisa tertawa.
“Tapi ada juga yang unik, udah
pacaran sampe 2 tahunan tapi ternyata orang tuanya gak bolehin nikah sama aku
karena waktu itu aku kan kerjanya masih sebatas freelancer design dan memang
studio aja sebagai mata pencaharian sementara ayahnya si perempuan ini maunya
anaknya nikah sama PNS. Jadi kita terus putus. Abis itu dia nikah. Eeh tapi dia
malah nikahnya sama guru honorer bukan PNS.”
“iihhh kok bisa gitu.” Ana
heran sekali.
“Iya, dan plot twist nya itu
yah setelah dia nikah, sekarang aku PNS gitu loh. Apa gak nyesel dia ninggalin
aku kan? Hahaha.” Angga tertawa.
“hahahah sumpah ngakak. Kamu
berhasil membalaskan dendam mu yah?” Ana ikut tertawa lepas. “Jadi amanahnya
adalah, tinggalkan laki-laki saat dia belum jadi PNS, maka setelah putus dia
akan berjuang menjadi PNS.”
“hahaha, bisa jadi bisa
jadi. Yah begitulah asam garam kehidupan asmaraku.” Ucap Angga kemudian.
Seperti seseorang yang sudah lulus ujian cinta “kalo kamu gimana, apa gak ada
yang antimainstream?”
“hhhmmm....” ana berdeham
dan berpikir, “ ada kok” jawabnya.
“gimana tuh ceritanya.”
“hhhmm” Ana mulai menyusun cerita,
“kalau untuk pacaran sih aku rasa karena terjadinya terlalu dini, pas aku SMA,
jadi aku anggap cinta monyet ajalah. Tapi lepas dari itu aku punya seseorang di
SMA juga yang aku kagumi, bahkan sampe aku lulus dan kuliah itu aku masih kagum
sekagum-kagumnya. Dulu juga gara-garanya gabung di OSIS dan seluruh temen-temen
cie-cie in kita gitu. Sampe aku baper banget terus suka diam-diam, cinta
diam-diam. Sampe sekarang. Pokoknya itu ngebuat aku ngestalkingin dia terus
sampe bertahun-tahun. Mungkin bisa dibilang cinta banget kali yah. Tapi ini
sangat menyakitkan sekali sih” Ana menegaskan.
“Kenapa menyakitkan sekali?
Karena aku tahu mengungkapkan perasaan ku saat itu hanya akan membuatku makin
berdosa dan ketika aku tahan untuk tidak mengungkapkan justru membuatku semakin
cinta. Jadi aku ngalamin rasa sakit yang luar biasa dulu”
“waaaaahhhhh. Gilak sih.”
Angga terkagum-kagum. “berat juga yah apa yang kamu rasain saat itu.”
Ana lalu hanya merenges.
“Terus sekarang orangnya
dimana? Orangnya udah punya pacar belum?” Tanya Angga penasaran.
“Sekarang dia lagi s2 di
Amerika, beasiswa Fullbright. Kalo pasangan, orangnya gak pernah pacaran. Itu
jadi poin istimewanya dia juga yang bikin aku sampe sekarang tetep mengagumi
dari jauh”
“wiiiihhhhhhhh, keren dong
berarti orangnya?” Angga pun ikut shock mendengar pernyataan Ana.
“Iya, keren banget. Jago
bahasa Inggris dulunya. Sering ikut lomba dan sering juara 1 provinsi. Mustahil kan orang kayak dia
bisa suka sama aku yang begini?” Ana pun menunjukan rasa gak pedenya karena
saking kuatnya sosok yang dulu ia sukai.
“kamu tahu apa yang paling menyakitkan lagi?”
lanjut Ana ke Angga.
“apa?” tanya Angga
penasaran.
“yang paling menyakitkannya
lagi, banyak banget perempuan yang suka sama dia. Termasuk teman-temanku. Jadi
aku harus tahu diri gitu. Yah aku juga termasuk orang yang gak suka kalau orang
yang aku sukai disukai oleh perempuan lain. Getooo Bambang ceritanya”
“hhhmmmm.....” Angga
berdeham. “Yah ya masuk akal sih. Aku mau tanya deh.”
“Tanya apa?”
“kalo seandainya orang itu
adalah takdirmu, apa yang bakal kamu lakuin?”
“Kalo dia jodohku
maksudnya?” Ana bertanya ulang.
“iya”
“kalo dia sampe jadi
jodohku, menikah sama aku, aku bakal bilang sama dia pas lagi malam pertama,
aku bakal bilang, “maaf yah sebelum nikah sama kamu, dulu aku pernah jatuh
cinta sama seseorang.” Terus nanti dia bakal nanyak gini, “sama siapa?” dan
dengan mata berbinar aku menjawab, “dengan seseorang yang sekarang ada di
depanku.” Ngomongnya agak dilembutin sambil menatap mata orangnya dalam-dalam. Disitu
aku akan menunjukan ke dia betapa bersyukurnya aku memiliki dia. Itu yang akan
aku lakuin sih” terang Ana penuh
kegemasan akan momen yang dikhayalkannya ini.
“waaahh kamu kayaknya paling
bisa memainkan emosi-emosi cinta yah sama pasangan.” Angga mulai terdoktrin
oleh mantra cinta Ana.
“hhhmm,
kurang tau sih. Tapi aku rasa aku tuh orangnya 100% kalau mau mencintai
seseorang. Bahkan mungkin aku siap kali yah kasih nyawaku ke orang itu. Artinya
aku sangat siap berkorban apapun dalam bentuk apapun.”
“waaaahhhh,
tulus banget kamu Na orangnya.” Respon Angga terkagum-kagum.
“Heeeeee.”
Ana tersipu malu.
Detik itu Angga lalu mulai
memahami sisi lain dari Ana. Bahasa cinta Ana yang sangat tulus dan mendalam.
Angga mulai berpikir bahwa orang seperti Ana someday harus bertemu dengan pria
yang tepat. Menikah dengan orang yang tepat. Menikah sama orang yang sama
tulusnya seperti Ana. Jika tidak, misal Ana mengalami penghianatan atau
perselingkuhan, Angga yakin, Ana akan mengalami luka yang berat bahkan mungkin
butuh seumur hidup untuk mengobatinya. Itulah resiko yang akan didapat dari
orang yang tulus mencintai. Yang tulus ingin berkorban. Menyiapkan jiwanya
untuk pujaan hati. Mereka harus siap pula kehilangan diri mereka seandainya
ketulusan itu dibalas dengan penghianatan oleh pujaan hatinya.
Malam semakin larut. Angga
berada di kamarnya, merebahkan badan sambil menatap lampu kamar di plapon.
Sementara Ana masih berdiri di cendela kamar sambil memainkan rambutnya. Mereka
berdua lalu berkhayal tentang sosok di masa lalu yang pernah membuatnya sangat
ingin memiliki, sangat ingin menikahi tapi dipisahkan oleh takdir.
Ana sendiri bahkan berpikir
bahwa takdir bahkan sudah dapat dipastikan tidak berpihak padanya. Namun dia
tersenyum tipis, merasa bersyukur bahwa pengalaman perasaan yang dulu dia
miliki sangat kuat. Sampai-sampai hal itu membuatnya mau berubah 100%. Ana yang
sangat pemalas dan bisa dibilang sangat bodoh, hanya karena Ia menyukai
laki-laki yang menjadi seniornya di sekolah dulu. Dia lalu berusaha keras untuk
belajar, sampai bisa menunjukan kalau dirinya berprestasi dan selalu masuk 3
besar di kelasnya. Dia juga menggeluti Bahasa Inggris, pelajaran yang dulu
dibencinya, hanya karena Ana sadar pujaan hatinya sangat jago di bidang ini.
Ana mendapat saluran
semangat, motivasi yang luar biasa saat itu. Sebuah energi yang tidak tahu
sumbernya dari mana namun mendorongnya sangat kuat ke dalam hal yang positive.
Karena dia bisa meraih pretasi yang cukup gemilang, Ia sampai bertanya-tanya,
kenapa bisa sampai seperti itu? Kenapa Ia bisa menjadi hebat hanya untuk
menunjukan pada pujaan hatinya padahal sebelumnya Ana dikenal bodoh dan
pemalas.
Ke dua orang tua Ana bahkan
sampai bingung.
“Na kamu juara 1 lagi ini
yah, mbok sekali-kali kasih kesempatan ke kawanmu biar mereka ngerasain juara
satu juga.” Ucap ayah Ana yang saat itu sedang pengambilan raport di sekolah.
Pasalnya sudah berulang kali Ana mendapat prestasi juara 1 terus menerus. Ana hanya
bisa menjawab.
“Ya Ana udah berusaha
turunin nilai-nilai Ana pak tapi gak tau kok masih juara 1. Coba bapak bantu
protes ke sekolah.” Ana balas melawak sombong ke bapaknya. Memang sudah menjadi
tabiat Ana untuk memiliki pola kesombangan yang ekstrem. Kalau ada ibu hamil
mendengar pun, mungkin akan langsung melahirkan di tempat.
Bagaimana pun itulah Ana dengan
segala permasalahan asmaranya. Seorang sapiosexual yang meminta belas kasihan
Tuhan untuk mengirimkan sosok pujaan hatinya seperti apa yang selama ini dia
angan-angankan. Yang memiliki kecerdasan, kelakuan yang baik, dan pemberani.
Ana dan Angga lalu terdiam
lama. Bingung akan membahas apa lagi.
“Angga....” panggil Ana.
“Iya Ana.....”
“Angga.....” Panggil Ana
kedua kali.
“Iya Ana..... kenapa toh
manggil terus. Manggil sekali lagi dapet piring cantik kamu.”
“Entah kenapa aku menyukai
namamu. Hehehe”
“Kenapa? namaku bagus?”
“Iya bagus.” Jawab Ana tersenyum
manis.
“hhhmmmm....”
Angga hanya bisa tersenyum juga.
Di ujung sana, Angga mencoba mengontrol perasaanya. Dengan sadar, Angga memiliki
rasa yang cukup memuncak untuk menemui Ana. Dia ingin tahu bagaimana Ana
dikehidupan nyata dan menjalani hubungan bersamanya di dunia nyata. Mereka
berdua juga saling menginginkan hal ini. Namun sayangnya, dua orang yang saling
berharap selalu mempunyai penyakit yang buruk. Penyakit takut ditolak, takut
tidak diterima. Itulah yang sama-sama mereka rasakan juga. Sama-sama takut
mengecewakan saat bertemu pertama kali. Hingga mungkin takut bahwa kepribadian mereka
rupanya tak dapat menyatu. Mereka berdua pun hanya bisa menjalani hubungan ini dengan
nuansa asmara penuh cemas dan kehangatan. Sampai kapan? Mungkin sampai semesta dapat
memberikan jawaban mengenai mereka untuk apakah mereka sekarang dipertemukan.
👍👍👍
BalasHapus