JATUH CINTA VIRTUAL PART 5
SAAT HARI PERTEMUAN HAMPIR TIBA
Written by Khoti Isnaeni
Hari itu mentari pagi
bersinar terang. Mbak santi dan Ana lalu mengawali hari dengan memasak
bersama. Saat memasak, mereka tetap
membicarakan topik-topik yang cukup deep. Ana paling suka pembicaraan seperti
itu. Apalagi mbak santi adalah wanita dewasa yang mempunyai banyak pengalaman. Mbak santi membagikan banyak hal itu kepada
Ana. Dia bercerita tentang calon suaminya, kebetulan mbak santi memang sedang
menuju ke pernikahan bersama calonnya yang TNI. Dia bercerita juga tentang masa
kuliahnya di UGM, masa kerjanya saat di Jakarta dan Jogja, serta kegagalannya
dalam menemukan pasangan.
Namun sosok mbak Santi yang
sekarang Ana temui adalah sosok luar biasa. Terlepas dari semua hal berat yang
sudah terlewati. Di usianya yang menginjak 30 tahun sekarang, dia tergolong
sukses membangun bisnis, sudah menemukan calon suami yang diinginkan dan juga
memiliki karakter muslimah yang kuat. Berpakaian syar’i serta rutin mengaji dan
ikut kajian.
Pernah suatu hari Ana
disuruh menggunakan kaos kaki agar dia menutup auratnya dengan sempurna.
“Ana, coba kamu mulai diubah
penampilannya. Coba mulai make kaos kaki biar tertutup semua auratnya.”
Lalu dengan bengeknya Ana
menjawab.
“Tapi kaki ku butuh sinar
matahari biar dapet vitamin D mbak.”
Ya, selain karena gila, Ana
memang seringkali menyelewengkan jawaban-jawaban yang tidak semestinya.
“Nanti mbak santi kasih kamu
kaos kaki 5 pasang deh tapi kamu pake terus.” Ucap mbak santi kemudian kepada
Ana.
“waaahhh serius mbak?” Ana
hanya bisa terkejut, “Yaudah nanti aku mau pake terus.” Ana akhirnya sangat
kegirangan kala itu. Menyadari bahwa apa yang dilakukan mbak Santi sangat baik
di mata Ana.
Satu hal yang akhirnya bisa sangat
Ana kagumi dari mbak Santi ialah, karakternya yang begitu dermawan. Ia selalu
berbagi sesuatu kepada Ana, begitupun saat dia berbagi kaos kaki hanya supaya
Ana mau menutup aurat dengan sempurna. Bagi Ana itu adalah sikap dermawan yang
dijunjung dengan ketulusan tiada tanding. Tak hanya itu, Ia juga selalu
mencontohkan kepada Ana untuk mudah memberi siapapun, terhadap teman, saudara,
tetangga. Hal itu dibuktikan sendiri oleh Ana saat salah satu temannya
mendatanginya di rumah mbak Santi. Kawan Ana masuk ruang tamu berdua bersama
Ana. Lalu dengan santainya mbak Santi menyuruh Ana mengambil makanan di kulkas
agar disajikan kepada kawan Ana.
“Ana, kalo ada tamu, siapun
itu jangan lupa dikeluarin makananya. Ini namanya memuliakan tamu.” Ucapnya
kala itu saat Ana mengambil makanan tersebut di kulkas.
Ana lalu hanya bisa
mengangguk. Maksud Ana, dia tahu hal itu tapi dia juga tidak enak hati kalau
harus mengeluarkan makanan di kulkas karena sebagian besar makanan di dalamnya adalah
milik mbak Santi. Untuk itu dia merasa tidak berhak mengambilnya. Namun setelah
mendengar hal itu dari mbak Santi, Ana hanya bisa menyadari bahwa kebaikan yang
mbak Santi miliki bukan basa-basi belaka. Dari situlah Ana mulai mengagumi
karakternya dan belajar meniru karakter yang dimiliki oleh mbak Santi.
Nasi sudah matang dan sayur
kang kung yang akan dimasak sedang dipotong-potong oleh Ana. Sementara mbak
Santi sedang menggoreng tempe di depan kompor. Ana ingin bercerita satu hal
mengenai perasaan kepada mbak Santi, di situlah Ia kemudian memulai obrolan
mengenai Angga.
“mbak, kalo mbak Santi
diajak bertemu sama laki-laki makan bareng gimana?” Ucap Ana sambil motongin
kang-kungnya.
“makan yang gimana dulu,” pikir
mbak Santi. “Kalo hanya berdua menurut mbak Santi sih jangan. Emang kamu mau
makan bareng siapa Na?”
“sama orang yang disuka.”
“sama orang yang sering
menelpon kamu malem-malem yah?” mbak Santi langsung menebak. “emang siapa sih
dia?”
“hehe.... kok mbak Santi
tahu sih,” Ana hanya bisa malu-malu. “dia kenalan, dari kawannya kawanku,
kawannya kawanku lagi mbak.” Terang Ana kemudian.
Kenyataanya Ana memang
dikenalkan oleh sumber yang bahkan tidak Ana kenal langsung.
“kalo laki-laki itu tidak
berniat serius mbak saranin untuk jangan ladenin dia teralu lama. Kamu yang
bakal rugi nantinya, kamu juga bisa berakhir patah hati.”
“tapi sepertinya dia akan
serius mbak....” ucap Ana membela.
“kamu tahu dari mana dia
akan serius?” ucap mbak Santi, “kalo serius coba aja tantang dia untuk mengta’arufmu,”
mbak Santi menatap ke arah Ana. “mbak
akan carikan ustadzah untuk medianya kalo kamu mau.”
“haaaaa ta’aruf???” Ana
kaget.
“Iya ta’aruf, kalo udah
sama-sama siap pasti dia bersedia, tapi kalo nanti ternyata dia gak bisa siap
atau main-main, dia akan mundur. Ini cara supaya terhindar dari patah hati berlebihan dan yah
tentu saja kamu tidak dipermainkan.”
Ana lalu berpikir panjang.
Dia tahu cara yang disarankan oleh mbak Santi sangat-sangat tepat untuk
dilakukan. Jika Ana ingin melihat sesuatunya dengan jelas, hubungan ini
maksudanya. Apakah memang bisa serius atau main main. Semua akan terlihat saat
Ana memberikan tantangan ini kepada Angga. Namun yang Ana pikirkan lagi adalah,
bagaimana kalau Angga rupanya membutuhkan proses panjang, bukan ta’aruf seperti
yang kita tahu, terjalin dengan sangat singkat. Mengingat masa lalunya, dimana
dia gagal mengenali calon pasanganya kala itu. Tentu hal itu menyimpan trauma
tersendiri yang akan selalu ada. Angga tetap akan takut memutuskan untuk
menikah atau berkomitmen sekalipun dia tahu asal-usul Ana. Atau bahkan meski
dia sadar Ana adalah wanita yang tepat baginya. Ana rasa Angga tak akan mudah
memutuskan ke arah itu. Itulah yang Ana pikirkan.
Tapi apa yang dimaksudkan
oleh mbak Santi juga benar. Ketika Ana terlalu lama berkenalan dan mereka
berdua melanjutkan jalinan hubungan ini ke dunia nyata. Mungkin mereka akan
makan bareng, hang out ke tempat liburan, dan sering menelpon, pasti akan ada
resiko untuk patah hati yang besar jika sampai terjadi, kemudian gagal.
Memberi tantangan untuk
taaruf mungkin adalah cara yang paling tepat untuk Ana lakukan, dengan begitu
dia akan segera tahu bagaimana arah yang dia tuju, apakah gagal bersama atau
berhasil. Namun dalam benak Ana sendiri, rasanya dia belum siap. Maksud Ana
adalah, dia tahu Angga laki-laki yang sangat menyenangkan. Dia bisa menjadi
pendengar yang sangat baik untuk Ana. Tempat berbagi humor, sekaligus tempat
bertukar pikiran. Ana belum rela menukarkan hal yang sangat berharga ini hanya
untuk menuntut kepastian. Meski Ana sangat sangat ingin tahu semuanya secara
jelas.
Akhirnya, sekarang Ana
mungkin memilih untuk menjadikan hubungannya mengalir layaknya air sungai yang
berakhir ke muaranya. Namun muara yang dia maksudkan adalah, muara kebersamaan
mereka atau bahkan perpisahan mereka.
Lagi pula Ana juga memiliki
pemikiran yang aneh, dia bahkan beranggapan bahwa tidak akan rugi kalau Angga
mempermainkan perasaanya atau menjadikan Ana pelampiasan, Ana akan menjadikan
ini sumber pembelajaran yang berharga. Ana akan tahu rasanya dipermainkan
seperti apa, akan tahu rasanya patah hati seperti apa, akan tahu rasanya
menangisi seseorang yang dicintainya seperti apa. Atau bahkan akan mendapat
pengalaman perasaan yang lain seperti kebahagiaan, kerinduan dan cinta dari
seseorang yang juga merasakan hal itu ke Ana. Ini adalah fenomena sangat langka
yang bisa dia alami. Bisa memiliki keinginan untuk mengenal seseorang saja
sudah merupakan kemajuan yang luar biasa apalagi kalo Ana sampai mencintai
orang tersebut. Pasti akan menjadi pengalaman terhebat bagi Ana si anak kepo.
Kira-kira seperti itulah
hal-hal yang kini berkeliaran memutari pikirannya. Maka usai perbincangan itu,
Ana masih menetapkan Angga sebagai seseorang yang special di hatinya tanpa mau
peduli apakah Angga demikian dengannya dan tidak mau peduli seandainya
kenyataanya nanti Angga main-main dengannya. Biar kata sekarang Ana masuk ke
kandang macam, Ana masih tetap yakin dan tahu bagaimana caranya keluar dengan
bijaksana dan utuh.
Malam hari, tepat setelah
shalat isya. Ana mengurung diri di kamar. Dia duduk di meja belajar di dekat
cendela. Dia membuka buku buku agama seperti fiqih wanita, munakahat dan buku
pengetahuan tentang sunah Nabi. Dia ingin membekali dirinya dengan ilmu agama
agar nantinya makin baik pengetahuan Ana. Lalu di malam itu juga, Ana menunggu
Angga menelponnya. Sampai kemudian pukul menunjukan jam 9 malam, handphone Ana
berdering. Sebuah panggilan dari Angga.
“hallo Assalamualaikum.”
Sahut Ana.
“ohh hey, Waalaikumussalam....”
jawab Angga dengan gaya lembutnya.
“kalo ngomong gak usah
lembut-lembut, biasa aja agak digedein gitu loh.” Ana sewot. Menganggap suara
Angga menganggu keimanannya.
Kenyataanya adalah Ana sangat-sangat
menyukai suara Angga. Suaranya bahkan seperti menggambarkan sosok laki-laki
dengan kebijaksanaan paling tinggi. Seperti laki-laki yang hangat sekaligus
penuh wibawa. Namun selain menyukai, Ana juga menganggap suara Angga adalah
ujian bagi imannya. Karena setiap kali Angga berbicara, hati Ana ikut hanyut. Ya,
Ana memang semampus itu.
“YAUDAH NI TAK GEDEIN
NGOMONGNYA!!!!” Angga lalu teriak keras.
“Hadeh!!!! kamu tuh
mau nyakitin kupingku apa yah?” Ana kesal sambil memegangi kupingnya, “Keras
banget gitu....” keluhnya lagi.
“Andai membunuh itu halal,
udah aku cekek leher kamu Na.” Ucap Angga geram dengan prilaku Ana yang membingngkan,
“BURUAN PASSWORDNYA!!!!” lanjutnya sambil tertawa.
“hahahaha......
berhasil...... berhasil..... hore!!! Bahagia banget gueee udah bikin orang
kesel.” Ana lalu tertawa dengan sangat puasnya. Bahkan sembari duduk, Ana juga
sembari joged kegirangan.
“Ana cantik, baik
hati dan pemilik Hogwarts.” Lanjut Ana menyebutkan password.
“Baik hati apanya,
preeeettttt......” Angga mendadak sensi.
“Emang kenyataan
kali.” Ana membatai Angga.
“Apa? pemilik
Hogwarts? Hogwartsnya Harry Potter?” Tanya Angga.
“Iya” Jawab Ana.
“Bisa main sihir
dong?” tanya Angga lagi, “coba mainkan sihirnya.” Lanjutnya.
“Sihir menjemput
jodoh virtual, adakadavrah......!!!!!” Jawab Ana bengek banget.
“HAHAHAHA” Angga
tertawa keras dan Ana juga tertawa ngakak.
“Eh udah makan belum
kamu Na?” tanya Angga kemudian.
“Ehhhhh sorry, aku
gak suka sama pertanyaan basa-basi.” Ana sok serius.
“Oh oke.” Angga
menjawab, “menurut mu apa pengaruh adanya industri 4.0 dengan kecanggihan teknology
terhadap pedagang cireng, bakso bakar dan mie ayam yang di jual di pinggir
jalan di dekat trotoar agak berdekatan dengan perumahan-perumahan elit seperti
perumahan kepresidenan rakyat Myanmar.” Lanjut Angga memberi pertanyaan serius
lebih serius dari Rafathar cabut gigi. “Coba tolong mbak dijawab.” Ucapnya lagi.
Seketika Ana bengong,
membisu dan tercekik dengan pertanyaan itu. Lalu dia hanya berdeham,
“hhhmmmmmmmm......makan cireng sama bakso kayaknya enak juga nih.” Lanjutnya.
“haduh mbak, dijawab mbak
bukan disuruh ngode makanan.”
“hahahaha....” Ana
tertawa. Merasa dirinya lebih baik terlihat bodoh dan pasrah saja.
“hahahaha dasar
betina” Angga ikut tertawa juga.
“Kamu lagi
ngapain?” Tanya Angga mulai serius.
“Tadi abis baca buku
Munakahat. hehehe”
“Waahh udah dapet apa
aja, coba ceritain isinya.”
“Banyak sih yang aku
baca,” jawab Ana “tapi tadi aku ingat kalimat bagus, kalimatnya begini,
‘hormatilah suamimu seperti halnya kamu menghormati ayahmu’ dan aku masih
bingung nih sama kalimatnya. Soalnya kayak baru tahu gitu. Apa emang bener cara
hormatnya sama?” Ana membeberkan.
“iya sih memang harus
gitu. Hormatnya istri ke suami yah kayak hormatnya dia ke ayahnya. Yah gak
boleh ngomong kasar atau membentak gitu. Aku punya suatu cerita nih. Ini bisa dijadikan
teladan.” Angga menjelaskan. Ana pun mulai serius menyimak.
“cepet ceritain.” Ana
tidak sabar.
“jadi ada seorang
perempuan yang sudah memiliki hapalan al’qur’an 30 juz.” Angga mulai cerita
panjang lebar. “Lalu dia menikah dengan laki-laki yang saat itu belum mempunyai
hapalan sama sekali. Terus perempuan ini merahasikan hapalan dari suaminya gitu
kan, yah, dan mengajak suaminya untuk menghapal al-qur’an sama-sama. Jadi
seolah-olah tuh mereka sedang mengejar target dari start yang sama. Mereka berdua
lalu saling menyemangati, dan di sini istrinya bahkan berpura-pura gitu untuk
menjadi yang kalah. Yah tujuannya untuk membuat suaminya merasa lebih baik
dalam mengahapal. Biar suaminya merasa menang. Gitu kan. Sampe akhirnya
suaminya deh yang nyemangatin istrinya untuk lebih rajin lagi menghapalnya.”
Ana tersenyum.
“endingnya, yah
istrinya langsung semangat gitu, pura-pura menghapal. Akhirnya mereka berdua sudah punya hapalan quran yang
sama. 30 juz. Tahu apa pelajaran yang bisa diambil?”
“apa?” tanya Ana
penasaran.
“strategy istrinya
sangat cerdas. Dia tahu cara nya membuat suaminya menjadi guru untuknya tanpa
dia yang menggurui. Berbeda dengan fenomena sekarang. Kalo sekarang, istri
lebih hebat dari suami bisa aja malah bersikap sombong dan merendahkan suami.”
“Makanya nanti kamu
gak boleh kayak gitu” Ucap Angga mengakhiri cerita.
Ana kembali tersenyum sendirian. Antara kagum dan
terpesona dengan penjelasan Angga. Ana bahkan mulai berkhayal tentang Angga
yang makin menakjubkan untuk Ana. Seorang
laki-laki yang memiliki pemahaman dan mindset yang baik.
“Iya. Aku bakal
gitulah nanti.” Jawab Ana sok manis.
Entah kenapa Ana
menjadi jinak dihadapan Angga. Dia ingin memberi kesan bahwa dia perempuan yang
ingin sekali ta’at dengan Angga padahal Ana sadar kalau mereka berdua sama
sekali belum memiliki komitmen tetap. Tetapi mereka berdua hanya bisa saling
menunjukan rasa itu. Rasa seperti ingin saling memiliki yang sama. Rasa ingin
diterima dan dikagumi.
“Yah ada banyak
banget ilmu pernikahan yang memang wajib kamu pelajari, seperti adab dengan
mertua. Kalo perempuan menikah juga belajar adab berhubungan dengan orang tuanya.
Karena kan sudah ada suami yang memegang kendali penuh atas istrinya nanti.”
“Iya bener banget.”
Jawab Ana pelan.
Malam itu menjadi hal
yang cukup berharga bagi Ana. Mereka bisa mengobrol kesana kemari dan penuh
canda tawa. Lalu sesekali membahas suatu topik yang berat. Yang membuat Ana
semakin kagum akan pengetahuan yang Angga miliki. Dilain sisi Angga juga
merasakan hal yang sama. Dia juga berpikir bahwa Ana cukup menakjubkan untuk dirinya.
Malam itu Ana beranggapan seolah Angga adalah sosok yang sudah lama Ia kenali. Seperti
sosok yang tanpa jaim-jaim lagi untuk berkata apapun. sosok pendengar dan pemberi
tauladan untuk Ana.
Suasana malam itu sedikit
mendung dan panas. Ana kemudian bediri di cendela kamar untuk mendapatkan angin
segar. Ia memainkan rambutnya sambil merenungi sesuatu. Hingga pikirannya lari
ke suatu peristiwa yang bisa dibilang cukup membagongkan. Ana kemudian mencoba
menceritakannya kepada Angga.
“Ehhh Angga. Kamu
pernah gak sih ngalamin kejadikan super lucu atau bisa dibilang sangat aneh dan
kamu inget itu sebagai memory membagongkan. Ada gak?” tanya Ana.
“hhmmm....” Angga
berpikir sejenak. “cerita lucu lah yah intinya?” tanya Angga lagi.
“hm ya. Cerita lucu.”
“aku tuh pernah dulu
kecelakaan sama temen, di deket sawah gitu tempatnya. Awalnya aku mau ngakak
pas liat temen ngelundung ke paretan. Tapi pas aku ngaca, aku liat mulutku
berdarah, akhirnya aku cancel ketawanya. Aku milih nangis aja.”
“iihhh sumpil sih.
Membagongkan banget asli. hahahaha” Ana lalu tertawa.
“ya mungkin itulah
cerita bego ku. Kalo kamu apa?” Tanya Angga.
“Kalo aku, hhmmm.”
Ana berpikir. “ini bukan cerita soal aku sih tapi ini lucu banget.”
“Apa tuh?” tanya
Angga tak sabar.
“dulu aku kan SMA
tinggal di asrama. Jadi kalo makan suka bareng-bareng gitu sama kawan kawan.
Nah ada salah satu temenku, dia itu mau buka puasa. Dia mau minum yakult
ceritanya. Eehh malah yakultnya tumpah ke lantai. Sama aku tak bilang, ‘eh
seruput dong yakultnya sayang itu belum sampe 5 menit’ aku bilang begitu kan niatnya becanda karena
ngliat ekspresi muka temenku kayak sayang yakultnya tumpah. Tapi ternyata
dengan tiba-tiba banget dia seruput beneran yakultnya.”
“make mulut?” tanya
Angga kaget.
“iya make mulutlah
masa make kaki.” Jawab Ana sewot.
“hahahah ngakak sih
sumpah. Jadi tuh yakult bukannya menyehatkan usus malah menyakiti usus nya itu
yah.”
“yaah bener banget
itu. Sampai sekarang yah kalo ketemu kawanku yang satu ini bawaanya mau ketawa
terus.” terang Ana kemudian. “Mungkin kalo dia nikah dan suaminya sampe tahu
kisah dia ini, bakal kena talak di tempat dia. hahaha” Ana tertawa.
“hahahaha. Aku aja
mau mbrebes nih bayanginnya. Sumpah mulutku agak cengeng nahan ketawa.” Angga
tertawa lagi. “Salam buat temen mu yah jangan sampe adegan dia nyruput yakult
di lantai terjadi di restoran yang banyak pengunjungnya.”
“hahaha. Iya aku
salamin nanti yah. Takut juga aku kalo sampe itu terjadi dan suaminya tahu. Dia
ditalak terus dikasih minum sianida setelahnya.”
“waahh ini patut
diwaspadai. Ingatkan kawanmu terus pokoknya.” Ucap Angga dengan kecemasan level up.
Waktu sudah
menunjukan pukul 10 malam. Ana sudah mengobrol dengan Angga selama 1 jam. Dia
lalu sedikit menguap hingga Angga mendengarnya.
“udah ngantuk kamu?”
tanyanya kemudian.
“sebenarnya gak
ngantuk sih, Cuma ........”
“Cuma pengen tidur?”
Sahut Angga nyablak.
“Iya bener sekali
ferguso.” Ana berkata mantap.
“yaudah tidur gih
kalo begitu.” Ucap Angga.
“yaudah matiin kalo
gitu telponnya.”
“yaudah Assamualaikum
.......”
“yaudah
waalaikumussalam......”
Beberapa detik
kemudian.
“kok gak
dimatiiniiiiiiiiinnnnnnn?” tanya Ana keras.
“kamu aja yang
matiin.” Jawab Angga.
“iihhh kamu ajalah,
kamu kan yang nelpon.”
“kamu aja.”
“iiihhhh kamu aja.”
Ana lelah akhirnya
dia terpaksa bilang, “yaudah matiin bareng-bareng yah, okey.”
“okey.”
Ana mulai berhitung.
“satu,,,, dua,,,,
tiiiiiiiiigaaaaaaaaa”
Beberapa detik
kemudian.
“loohhhhhh kok masih
idup telponnya?” Ana menjerit.
“kamu kenapa gak
pencet tombol mati?” tanya Angga sewot.
“pleaseeee deh jangan
konyol. Kalo masih pengen ngobrol ngomong.” Ana lebih sewot semlehot.
“kamu aku ajak makan bareng
weekend ini. Harus mau!!!!” Angga masih ngegas.
“iihhh apaan, buru-buru
banget ngasih taunya.”
Tuuttt tuttttt..... dan
akhirnya telpon langsung terputus. Angga yang mematikannya.
Ana masih terbengong-bengong.
Kalimat terakhir Angga untuk mengajak makan bersama masih keliling di kepala Ana.
Ana pun seperti bingung, stres dan depresi. Dia sampai memegangi kepalanya, berpikir
keras. Bukan dia tidak suka bertemu dengan Angga. Dia sangat ingin bertemu Angga.
Tapi kini nyalinya menciut. Dia nampak bersiap-siap mengorbankan hubungannya kalau-kalau
pada pertemuan tersebut dia tidak berhasil. Kecemasan Ana akan penampilan dan rupa
menjadi faktor utama. Yang kedua adalah, dia akan sangat kikuk dan malu-malu harus
berhadapan langsung dengan seorang pria. Ditambah dia tak pernah melakukan ini sama
sekali sebelumnya.
“Ya Tuhan apa yang akan
terjadi????” Ana makin menggila.
Akankah Ana bertindak
layaknya accismus? yakni berpura-pura saja tidak menyukai Angga padahal sangat menyukainya.
Mungkin kah bisa cara ini digunakan? Ana masih berpikir tentang itu.
Komentar
Posting Komentar